Pendidikan Kering

TUMBEN. Keinginan pemerintah kali ini mentok di DPR: RUU Pendidikan itu. Alasan formalnya: bicarakan dululah dengan stakeholders.

Tumben.

Tidak ada alasan serupa ketika memperlakukan RUU-RUU yang lalu. Misalnya RUU Cipta Kerja.

Kesannya RUU Pendidikan ini belum dibicarakan dengan berbagai pihak. Rasanya tidak terlalu salah. Banyak pihak komplain: merasa tidak diajak rembukan.

Tapi bukankah RUU lainnya dulu juga begitu?

Mungkin kali ini keinginan pemerintah sendiri juga tidak terlalu kuat. Setidaknya tidak sekuat perjuangan meloloskan RUU Cipta Kerja. Mungkin pemerintah beranggapan UU yang lama, UU Pendidikan 2003, masih bisa dipakai.

Tentu RUU Pendidikan bukan RUU yang ”basah”. Semangat membahas RUU basah tentu berbeda dengan RUU setengah basah. Apalagi RUU kerontang.

Saya pun awalnya kurang semangat menulis RUU pendidikan itu. Prof Dr Puruhito-lah yang order. Lewat japri beliau ke saya. Beliau adalah profesor emeritus untuk ilmu bedah jantung. Juga perintis bedah jantung di Surabaya. Usianya sudah 78 tahun tapi masih prima. Masih mengajar. Masih buka praktik. Badannya sehat. Langsing. Tinggi. Ganteng.

Puruhito sangat peduli pendidikan. Karena itu ia ingin tahu mengapa RUU ini tidak jadi prioritas untuk dibicarakan.

Tentu RUU ini tidak menghasilkan uang. Tidak mendatangkan rombongan investor. Tidak ada hubungannya dengan roket pertumbuhan ekonomi. Setidaknya secara langsung. Karena itu tidak tergolong ke dalam RUU yang seksi.

Padahal ini seksi banget.

Maka Prof Puruhito pun mengumpulkan begitu banyak bahan. Lalu mengirimkannya ke sana. Ibarat sama-sama mengelola restoran Prof Puruhito yang belanja bahan. Saya tinggal menyeleksinya. Lalu memasaknya. Dan memberi bumbu. Dan menghidangkannya.

Ternyata RUU Pendidikan ini sebenarnya juga omnibus law. Kecil-kecilan. Tiga UU yang terkait pendidikan disatukan di sini: UU No 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional, UU No 14/2005 tentang guru dan dosen, dan UU No 12/2012 tentang pendidikan tinggi.

seperti sekarang ini ; baik itu kekuatan ekonominya, pengentasan kemiskinannya, kemajuan teknologinya, maupun kekuatan militernya, dlsb ?? Saya sangat yakin : kondisinya akan sama, terlepas siapapun President-nya !! Mengapa ?? Karena dasar-dasar pembangunan Tiongkok modern sudah di-fondasi-kan oleh Deng Xiaoping, dikembangkan oleh Zhu Rongji, dan dikukuhkan oleh Hu Jintao. Itulah periode yang krusial dalam me-navigasi pembangunan Tiongkok. Seperti halnya Singapore ; siapapun Perdana Menteri nya, kondisi Singapore akan tetap sebagai negara maju dengan income per kapita yang tinggi, dengan kondisi sosial-ekonomi-politik yang relatif stabil, dengan ke-teratur-an yang sangat baik didalam aktifitas kehidupan masyarakat Singapore, dlsb. Jadi mengapa Xi Jinping seakan-akan menjadi President yang paling berperan didalam kemajuan Tiongkok ; sampai-sampai Undang-Undang pun di-revisi supaya memungkinkan menjadi President untuk periode ketiga ?? My honest answer is : because Xi Jinping plays the role of political bias !!

Tinggalkan Balasan