JabarEkspres.com — Sebuah data menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan menjadi tempat tidak aman bagi perempuan dari kekerasan seksual.
Selama tujuh tahun terakhir, kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan terus mengalami peningkatan.
Puncaknya terjadi pada 2020, kendati sempat mengalami penurunan pada 2021, berdasarkan data yang dirilis Komnas Perempuan seperti dikutip Databoks Katadata, Selasa, 10 Maret 2022.
Lantas, lingkungan pendidikan bagian mana yang menjadi tempat di mana ancaman bagi perempuan kerap terjadi?
Data menunjukkan bahwa perguruan tinggi menjadi tempat maraknya kasus kekerasan seksual terjadi.
Sepanjang periode 2017 hingga 2021, setidaknya telah terjadi 35 kasus kekerasan seksual terjadi di perguruan tinggi, kemudian disusul oleh pesantren, yakni sebanyak 16 kasus, lalu sebanyak 15 kasus terjadi di sekolah menengah atas (SMA).
Sayangnya, penanganan kasus kekerasan seksual itu diatasi alakadarnya saja oleh aparat penegak hukum. Bahkan, penanganan yang ada kerap mangkrak begitu saja.
Hal tersebut lantas membuat para korban patah arah. Namun, banyak korban pula yang memilih untuk terus mengadu melawan.
Media sosial menjadi media yang paling masuk akal bagi para korban untuk mengadukan kejahatan yang mereka alami.
Media sosial kemudian menjadi jalur untuk merebut keadilan ketika otoritas menangani kasus kekerasan seksual secara tak memuaskan.
Belum lama ini, warga net menjadikan media sosial sebagai terobosan serius untuk menebar teror bagi para predator seksual di lingkungan kampus.
Di Instagram, misalnya. Sebuah akun bernama @ugm.cabul menyatakan siap untuk membuat para predator resah dengan cara mengunggah kasus-kasus kejahatan ini yang ada di Universitas Gadjah Mada.
Para pelaku kekerasan seksual di UGM tidak resah sendirian. Pasalnya, beberapa kampus pun turut kena getahnya.
Akun-akun seperti @unpadcabul, @ipbcabul, @undipcabul pun siap membuat para predator seksual di lingkungan kampus tersebut ketar-ketir.
Melansir berbagai sumber, akun-akun tersebut eksis sebagai ekspresi kekecewaan atas para penegak hukum yang tidak mampu menangani kasus kejahatan ini secara memuaskan.
Dalam hal ini, upaya merengkuh keadilan bagi para penyintas digalang dengan cara menarik tekanan dari publik.
Pasalnya, tekanan publik terbukti merupakan cara yang jitu untuk menjerat para predator seksual hingga tak berkutik.