Eksistensi Seni Benjang, Tetap Menari di Tengah Perkembangan Era Digital

Masa keemasan kesenian ini terjadi sekiranya di 1955 sampai 1965 lalu. Bahkan Tari Topeng Benjang mengalami perkembangan menjadi pertunjukan sandiwara tradisional.

Ade mengaku, sejak zaman dulu sampai sekarang yang masih jadi daya tarik pertunjukan kesenian ini di mata masyarakat adalah atraksi Kuda Lumping.

“Jadi daya jual ke masyarakat identiknya Kuda Lumping. Ini pun jadi salah satu perbedaan grup Setia Wargi,” paparnya yang kini mulai mengeluarkan sebungkus rokok kretek dari dalam saku baju sebelah kanan.

Ade menyayangkan, beberapa grup kesenian ini saat ini cenderung hanya menggelar pertunjukan agar mendapat keuntungan, tetapi nilai-nilai budaya yang sudah dibentuk para leluhur tidak dimaknai dan diabaikan.

Dia mengaku, pertunjukan Kuda Lumping jika dilakukan sembarangan kerap berujung ricuh dan karena beberapa grup seni Benjang tidak memaknai nilai-nilai budaya leluhur, tak jarang atraksi yang digelar membahayakan penonton.

“Sekarang banyak grup Benjang saat tampil itu kudanya lari menerjang penonton. Padahal buhun karuhun (leluhur dahulu) itu memprioritaskan (keamanan) penonton,” ujar Ade kemudian menghisap rokok kereteknya.

Mengingat kesenian ini perlu dilestarikan dengan kondisi masyarakat yang berbeda zaman, Ade mengaku kerap mengkolaborasikan atraksi menggunakan elemen modern, menyesuaikan daya jual dan pesanan pertunjukan.

Kemeriahan Festival Seni Benjang Kabupaten Bandung di Desa Cikoreat, Kecamatan Cilengkrang. (Foto: Yanuar Baswata/Jabar Ekspres)

Kendati demikian, ditegaskan Ade, meski dikolaborasikan dengan unsur modern tidak akan sampai menghilangkan nilai-nilai seni Benjang buhun karuhun (leluhur terdahulu).

“Tampilannya saja ada perbedaan karena harus ngegelan (menyesuaikan) zaman, seperti ditambahkan tumpakan rajawali atau sisingaan,” ucap Ade yang kini mulai dikerumuni anggota grupnya.

Dia melanjutkan, khas kesenian ini murni ada dari tepakan musiknya yang menurut Ade ketika mulai digaungkan bisa disesuaikan dengan bermacam atraksi dalam pertunjukan.

“Benjang buhun dengan Benjang modern itu tepakannya beda, kalo modern khusus untuk joget (menari), tapi Benjang buhun dipakai apapun tetap masuk,” kata Ade.

“Bedugnya itu ditabuh dung dung dung, kalau mau lebih meriah dipercepat jadi dung dudung dung dudung, itu Benjang buhun. Enggak ada tabuhan dangdut,” lanjutnya sambil menggerakkan kedua tangan seakan mempraktikkan alat musik.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan