Asetnya Diduga Belum Jelas, Alun-Alun Cicalengka Jadi Sorotan

“Eigendom itu tidak serta merta karena pada masa Pemerintah Belanda sudah ada alun-alun, kemudian diserahkan ke Republik Indonesia. Tidak begitu. Kalau tanah Eigendom harus tercatat dalam Verponding,” lanjutnya.

Ayi menerangkan, beberapa titik tanah Eigendom yang ada di wilayah Kecamatan Cicalengka sampai saat ini statusnya jelas, sebab sudah tercatat dalam Verponding.

Adapun lahan-lahan berstatus tanah Eigendom dan tercatat Verponding itu, di antaranya SDN 8 Cicalengka, SMP Negeri 1 Cicalengka, Kantor Polsek Cicalengka dan Kantor Kecamatan Cicalengka.

“Contoh SMP Negeri 1 Cicalengka tanah Eigendom tercatat dalam Verponding nomor sekian,” papar Ayi

“Kantor Polsek Cicalengka tercatat Verponding nomor sekian. Alun-Alun Cicalengka itu tidak ada,” tambahnya.

Dia mengatakan bahwa jika memang area Alun-Alun Cicalengka sebagai tanah peninggalan Pemerintahan Hindia Belanda saat itu, tetap pendataannya harus ada dalam buku tanah di Desa Cicalengka Kulon.

“Buku tanah itu ada di desa dan Alun-alun Cicalengka tidak ada, tidak tercatat di situ (buku tanah Desa Cicalengka Kulon),” ujarnya.

Kegiatan masyarakat di Alun-Alun Cicalengka. (Foto: Yanuar/Jabar Ekspres)

Sementara itu, ketika dikonfirmasi, Sekretaris Camat Cicalengka, Didin Hidayat menyebutkan, status lahan alun-alun belum bisa dipastikan aset kepemilikannya.

“Sejauh yang saya tahu, saya belum menelisik, belum melihat data. Saya akan coba cari informasi, sejauh mana bukti hipotik terkait keberadaan Alun-Alun (Cicalengka),” tutur Didin.

Pada kesempatannya, dia menjelaskan sekilas terkait sejarah wilayah Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung.

“Sejarah tentang alun-alun ini cukup panjang, karena kaitannya dengan kondisi Apdeling tahun 1870-an,” ucap Didin.

“Jadi Alun-Alun Cicalengka tidak lepas dari keberadaan Kantor Kecamatan dan SMP Negeri Cicalengka,” lanjutnya.

Didin manerangkan bahwa area kawasan tersebut jika menelisik pada 1870 lalu, keberadaannya berada satu wilayah atau komplek dengan Kepatihan.

“Kemudian jadi Kedesidenan lalu jadi Kewadanaan dan menjadi Kecamatan. Perjalanannya seperti itu,” pungkasnya.

“Untuk tahunnya sendiri kita coba gali informasi dari sumber-sumber yang ada berupa catatan dan literasi,” tutup Didin.*** (Bas)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan