JAKARTA – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menganggap banyak kejanggalan dalam kasus baku tembak di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, Jakarta Selatan, Kamis (14/7).
Misalnya, kejanggalan tentang disparitas waktu yang lama antara peristiwa baku tembak dengan pengungkapan ke publik. Selain itu, KontraS menyoroti kronologi baku tembak yang diungkapkan kepolisian selalu berubah-ubah.
Adapun, peristiwa baku tembak di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo melibatkan Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir J dan Bharada E. Brigadir J tewas dalam kejadian itu, sedangkan Bharada E diamankan setelah peristiwa saling tembak.
Wakil Koordinator Badan Pekerja KontraS Rivanlee Anandar merasa rentetan kejanggalan menjadi indikasi kepolisian mau menutup-nutupi dan mengaburkan fakta kasus kematian Brigadir J.
“Indikasi penting bahwa kepolisian terkesan menutup-nutupi,” kata Rivanlee melalui keterangan persnya, Kamis (14/7).
Alumnus Universitas Indonesia (UI) itu kemudian menyinggung tentang upaya menutup-nutupi kasus baku tembak itu seperti langkah kepolisian mengusut perkara ekskusi enam laskar FPI.
Menurut Rivanlee, dalam persidangan kasus penembakan enam laskar itu, waga sekitar lokasi kejadian diduga mengalami intimidasi oleh aparat.
Mereka, kata dia, dilarang merekam peristiwa dan bahkan diminta untuk menghapus dokumen hasil rekaman peristiwa penangkapan dan penembakan.
“Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Komnas HAM ketika memberikan keterangan di persidangan,” ungkapnya.
Selain itu, langkah menutupi kasus juga pernah terjadi dalam kasus penyiksaan terhadap mendiang Hermanto.
“Pihak Kepolisian juga terkesan menutupi kasus dengan menghalangi jenazah yang meninggal untuk dilihat oleh pihak keluarga,” ujar Rivanlee. (JPNN-red)