JAKARTA – Seorang pakar Ekonomi menyoroti perihal Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan misi perdamaian ke dua negara Rusia dan Ukraina.
Sebagaimana diketahui, Jokowi telah bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy untuk melakukan misi perdamaian.
Selain itu Jokowi merupakan kepala Negara Asia pertama yang mengunjungi negara Ukraina saat di invasi.
Pakar perdagangan ekonomi dunia dan politik internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Riza Noer Arfani mengatakan, kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia sebagai bentuk pemulihan ekonomi.
Riza Noer meneruskan, Jika Jokowi tidak melakukan kunjungan ke dua negara tersebut ada kemungkinan harga minyak naik.
“Kalau tidak ada langkah-langkah terobosan terhadap perang ini kemungkinan harga minyak akan terus naik bisa menimbulkan resesi global dan stagflasi,” ucap Riza dikutip laman resmi UGM di Yogyakarta, pada Sabtu (7/2)
“Menimbulkan fenomena inflasi yang tinggi dibarengi dengan kemandekan ekonomi,” tambahnya Riza.
Riza menuturkan bahwa kunjungan tersebut amat bermakna dan strategis karena pemulihan ekonomi yang sudah digagas sejumlah pihak, termasuk negara anggota G-20 saat ini sangat terancam akibat peperangan Rusia-Ukraina.
Jika kemungkinan besar perang itu berlangsung lama, menurut dia, akan sangat berdampak pada tiga sektor penting, yaitu sektor pangan, energi, dan sektor kesehatan.
Problem pangan, kata Riza, sudah disampaikan Presiden Jokowi pada Forum G-7 bahwa persoalan tersebut telah mengancam negara-negara sedang berkembang karena jika rantai pasok pangan terganggu, berdampak pada naiknya harga-harga bahan pokok.
Pada sektor energi, perang tersebut juga mendorong gejolak harga minyak sehingga berpengaruh pada negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia.
Sanksi terhadap Rusia akibat peperangan itu, kata dia, juga menimbulkan ketidakpastian harga energi global, terutama minyak.
Pada sektor kesehatan, perang yang berlarut-larut, menurut dia, tentu berpengaruh pada distribusi vaksin, apalagi di level global capaian vaksinasi masih timpang.
“Ada negara-negara berkembang, negara-negara menengah bawah yang capaiannya masih di bawah 50 persen. Ini sangat berat jika perang terus berlanjut tentu akan berpengaruh pada program-program terkait dengan obat untuk penanganan pandemi. Saya kira-kira makna kunjungan juga terkait ini,” ujarnya.