Jabarekspres.com – Ekonomi Sri Lanka di kabarkan runtuh dan bangkrut karena gagal membayar utang luar negeri (ULN). Negara denagan 22 juta penduduk itu memiliki utang sebesar 51 miliar US Dollar atau setara Rp 754,8 triliun.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan kebangkrutan negara tersebut perlu menjadi peringatan serius. Terutama bagi Indonesia agar lebih memperhatinkan kondisi utang.
“Gagal bayar utang Sri Lanka harus jadi pelajaran bagi negara lain, termasuk Indonesia. Rasio utang Sri Lanka naik drastis dari 42% di 2019 menjadi 104% di 2021 salah satunya karena beban pengeluaran selama pandemi, utang infrastruktur dan kegagalan mengatasi naiknya harga barang atau inflasi,” kata Bhima.
Pemerintah harus mengelola utang luar negeri dengan hati-hati karena pengelolaan buruk dapat mendatangkan musibah ekonomi seperti Sri Lanka. ULN Indonesia pada April 2022 tercatat sebesar 409,5 miliar US Dollar. Turun di bandingkan bulan sebelumnya sebesar 412,1 miliar US Dollar.
“Kalau ada pemerintah ugal-ugalan menambah utang dan selalu bilang rasio utang aman, sementara tidak ada yang rem, maka perlu diwaspadai ancaman krisis utang dalam beberapa tahun ke depan,” tegas Bhima mengingatkan.
Krisis Sri Lanka di nilai dapat memicu larinya aliran modal asing dari pasar surat utang di Indonesia. Meski hubungan dagang antara Indonesia dan Sri Lanka kecil, persepsi investor dan kreditur akan berbeda. Menurut Bhima, mereka akan menganggap negara berkembang memiliki risiko yang tinggi.
“Indonesia dan Sri Lanka sama-sama negara lower-middle income countries. Krisis di Sri Lanka berisiko memicu pelarian modal dari pasar surat utang di Indonesia,” bebernya.
Bhima pun mengingatkan, risiko kenaikan suku bunga dan inflasi dapat membuat beban utang luar negeri semakin berat. Karena imbal hasil surat utang mengalami kenaikan dalam beberapa tahun ke depan.
Menurut data Asian Development Bank, yield SBN tenor 10 tahun telah mengalami kenaikan 102,9 basis poin sejak awal tahun (ytd) menjadi 7,41%.
“Kreditur tentu memaksa agar bunga utang semakin tinggi sebagai kompensasi dari naiknya inflasi. Ini situasi yang sangat buruk bagi pengelolaan utang pemerintah,” tuturnya.