JAKARTA – Sangat sulit untuk membandingkan satu metode dengan metode lain dari berbagai variasi dan metode yang digunakan untuk menghitung mikroplastik.
Adanya tingkat kesulitan itu yang menyebabkan belum adanya standar internasional saat ini. Pemegang otoritas apakah itu WHO ataupun pemerintah di banyak negara belum bisa memberikan kepastian, berapa standar mikroplastik yang diperbolehkan ada dalam tubuh manusia.
Hal itu disampaikan Inneke Hantoro, Peneliti Mikroplastik yang juga Dosen Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Katolik Soegijapranata Semarang. Saat mengisi webinar “Mengenal Mikroplastik dan Dampaknya pada Lingkungan dan Kesehatan” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Kamis (16/6).
Dia mengatakan uji toksisitas pada sampel hewan dan sel atau kultur manusia yang pernah dilakukan di beberapa negara, itu masih belum merepresentasikan keadaan yang sesungguhnya.
Seperti diketahui, pada sampel yang dilakukan terhadap hewan ternyata ada kemungkinan itu berdampak negatif pada pencernaan, liver, saraf, dan reproduksi. Sedangkan yang menggunakan sel atau kultur manusia, diketahui ada indikasi keberadaannya merupakan sitotoksik atau beracun untuk sel, bisa mengganggu sistem imun, bisa menembus sel barier, dan menimbulkan stress oksidatif.
Tetapi, kata Inneke, yang perlu diingat adalah bahwa semua studi mengenai toksisiti yang dilakukan itu selalu konsentrasinya jauh lebih tinggi, dan untuk melakukan kondisi yang sama dengan paparan yang terjadi di lingkungan yang sesungguhnya ini tidak mudah untuk dilakukan.
“Sehingga, seringkali yang dihasilkan dari tes toksisitas tadi itu masih belum merepresentasikan keadaan yang sesungguhnya. Karena, untuk kemudian men-set up standar mikroplastik itu harus ada data toksikologinya,” ucapnya.
Dia mengatakan mikro plastik itu ukurannya satu micron sampai 5000 micron. Untuk ukuran 0,5 – 1 milimeter, menurutnya, itu kemungkinan masih bisa dilihat secara visual.
Tapi, katanya, kalau sudah misalnya di bawah 100 milimeter, kalau tidak dengan mikroskop itu sudah sulit dilihat. Apalagi misalnya kalau banyak ditemukan di bawah 50 micron.
“Nah, itu tidak mungkin kita lakukan berdasarkan sorting visual. Dengan melakukan analisis beberapa alat yang advance seperti FTIR saja itu belum menyelesaikan masalah. Seluruh dunia masih mengalami masalah yang sama untuk itu,” tuturnya.