Pendeta Saifuddin Ibrahim Jadi Buronan Polri dan FBI

JAKARTA – Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo menyatakan Saifuddin Ibrahim telah resmi ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan tindak pidana ujaran kebencian. Namun Karena Posisinya terdeteksi berada di Amerika Serikat, Polri berkoordinasi dengan beberapa pihak termasuk Federal Bureau Of Investigation atau FBI untuk mengejar dan menangkapnya.

“Saat ini yang bersangkutan sudah ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Dedi pada Rabu (30/3).

Dedi Prasetyo mendapatkan informasi bahwa penetapan tersangka kepada Saifuddin Ibrahim dilakukan Penyidik Bareskrim Polri dilakukan pada 28 Maret 2022 lalu. Namun dia belum bisa memberikan informasi lebih rinci terkait Saifuddin Ibrahim.

“Sejak dua hari yang lalu ditetapkan tersangka,” kata Dedi.

Sebelumnya, Direktur Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri Brigjen Pol Asep Edi Suheri mengatakan, masih belum mengagendakan pemeriksaan terhadap Saifuddin Ibrahim. Hal itu karena pendeta tersebut berada di Amerika Serikat.

Sehingga Bareskrim Polri berkoordinasi dengan Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), termasuk Federal Bureau Of Investigation (FBI) untuk memburu Saifuddin Ibrahim.

”Kami masih koordinasi secara intens dengan pihak-pihak terkait,” kata Asep.

Diketahui, Saifuddin Ibrahim diduga melanggar sejumlah pasal, yakni Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 Ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE dan/atau Pasal 156 KUHP dan/atau Pasal 156a KUHP dan/atau Pasal 14 ayat (1), ayat (2) dan/ atau Pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan hukum Pidana.

Dia sebelumnya meminta agar Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menghapus 300 ayat dalam Alquran.

Pria bernama Saifuddin Ibrahim meminta Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menghapus 300 ayat dalam Alquran. Pria yang diduga pendeta itu berkata ratusan ayat tersebut memicu intoleransi dan tak perlu diajarkan di pesantren karena bisa memicu radikalisme.

“Bahkan kalau perlu 300 ayat yang menjadi pemicu hidup intoleran, pemicu hidup radikal dan membenci orang lain karena beda agama itu di-skip atau direvisi atau dihapuskan dari Alquran Indonesia. Ini sangat berbahaya sekali,” kata Saifudin  dalam sebuah video.

Dia  juga menyebutkan bahwa pesantren di Indonesia cenderung melahirkan para teroris. Dia pun meminta agar seluruh kurikulum dalam pesantren diubah sepenuhnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan