Setelah jauh pergi “meninggalkan rumah”, Saini KM seakan-akan linglung “di suatu tempat di tanah asing” setelah “Seseorang menyebut nama itu, nama kota itu/Bagai ujung belati suatu tusukan menembus ulu hati“. Sikap Saini KM yang kosmopolitan di awal itu jadi mencair. Pada akhirnya, kita lihat Saini KM “mengaduh dan mengerti arti kata rindu.” terhadap Bandung, rumah, dan kota kelahiran.
Ya, mencair. Bukan memudar. Apa lagi hilang. Mengembara jauh hingga menembus “batas-batas” toh pada akhirnya menemui “batas-batas lain”. Dan di depan batas-batas lain itu, Saini KM mendapatkan pengetahuan yang arif untuk mendamaikan tegangan antara keinginan merengkuh standar moralitas universal “warga dunia” dan ketidakmungkinan “melarikan diri dari dirimu sendiri/Dari kota yang jalannya uratmu, udaranya nafasmu.“—Pengembaraan sejauh mana pun kita harus pulang demi pengabdian bagi mereka yang tertinggal di “rumah”.
Pertemuan Kecil adalah pengabdian Saini KM. Di sana ia mengajarkan pengembaraan sunyi bagi para penyair muda: bagaimana menembus “batas-batas” hingga suatu batas tertentu, yakni pengabdian bagi mereka yang di “rumah”.
Selamat Hari Puisi Sedunia.