Merayakan Hari Puisi Sedunia lewat Seniman Besar Jawa Barat

Menemui “Bandung” Karya Saini KM

Puisi merupakan hasil dari pengamatan sang penyair atas realita di sekitarnya. Penyair tentu mengalami banyak hal dalam lingkungan sekelilingnya. Oleh karenanya, penyair selalu mengekspresikan banyak hal dalam sajaknya. Begitu juga dengan Saini KM.

Namun, di sini kami memilih salah satu puisi dalam kumpulan puisi Nyanyian Tanah Air berjudul “Bandung” karya Saini KM. Ada hal menarik dalam puisi tersebut untuk dibicarakan, yakni sikap kepengarangan Saini KM.

Puisi “Bandung” terdiri dari 6 stanza yang dibagi menjadi dua “babak”, yakni “babak 1” dan “babak 2”. Dalam tiga stanza pertama, kita tahu bahwa si “kau” telah jauh “meninggalkan rumah” demi “Padang terbuka di kaki langit atau biru laut/Gelombang demi gelombang membuka cakrawala.

Setidaknya, si “kau” pernah menganggap Bandung sebagai rumah, kota kelahiran, yang telah menjadi bagian dari dirinya. Seiring berjalannya waktu, si “kau” mendapati “Alangkah pengapnya kota!

Kita tidak tahu pengap dalam arti apa di situ. Apakah pengap di situ merujuk pada sesaknya karena padatnya kendaraan di Bandung? Atau, apakah pengap dalam arti udara yang tercemar polusi? Atau, apakah pengap karena padatnya perumahan, gedung-gedung, mall-mall? Atau, apakah pengap karena atmosfer panas politik?

Jangan lupa, puisi ini ditulis pada tahun 2000, tahun di mana gema peristiwa ’98 masih terngiang. Usai lengsernya Soeharto, perombakan tata kelola negara dimotori oleh semangat “Reformasi”, tentunya.

Dengan begitu, si “kau” dalam sajak “Bandung” ini mempunyai pandangan yang menarik. Di saat orang-orang bergairah membangun “kota” dengan semangat Reformasi, si “kau” justru hendak “Menghapus kota dari peta hidupmu. Saatnya tiba/Melupakan batas-batas dan jadi warga dunia!

Di satu sisi, kita jadi ketahui bahwa sikap internasionalisme sudah berlangsung sejak saat itu. Namun, kita ketahui juga internasionalisme sebagai “warga dunia” di situ sebagai sikap yang ekstrim dan secara terbuka menitah untuk “menghapus kota” dan menembus “batas-batas”. Nasionalisme tidak lagi penting, sebab yang tengah mendesak adalah “jadi warga dunia!“.

Tapi siapakah si “kau” dalam sajak itu? Saini KM. Tentu saja.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan