Kemudian karya drama Saini KM berjudul Kerajaan Burung juga memiliki kemiripan dengan judul karya yang sangat fenomenal dari Timur, yakni Manthiq al-Thair atau Musyawarah Burung karya Fariduddin Attar sufi terkenal itu.
Lalu, karya drama Saini KM seperti Ciung Wanara, Ken Arok, Syekh Siti Jenar pun memberikan kita gambaran bahwa lanskap pengetahuan Saini KM tentang sastra Tanah Air juga luas.
Dengan begitu, karya-karya Saini KM itu merupakan hasil eksplorasi kesusastraan “segala arah” yang telah ia tekuni dengan keseriusan yang tidak main-main. Tidak mengherankan jika ia dianggap setara dengan Umbu Landu Paranggi: orang-orang yang “digurukan” atau dianggap sebagai sumur tempat menimba ilmu kesusastraan bagi seniman-seniman muda.
Saini KM: Sosok Guru Para Penyair Muda
Ada dua sumber literatur yang saya dapatkan perihal Saini KM sebagai sosok “guru” bagi para penyair muda. Pertama, dari esai epistolaris Nirwan Dewanto berjudul “Guru Selain-lainnya” yang terbit di situs Maca, (29/05/2021). Kedua, dari tulisan Soni Farid Maulana berjudul “Saini KM, Puisi, dan Pertemuan Kecil” yang terbit di harian umum Pikiran Rakyat, (26/07/2008).
Nirwan Dewanto, yang akan kita singkat ND, sebenarnya dalam esai itu sedang membicarakan Umbu Landu Paranggi. Di sana ia mencoba mencari tahu kenapa begitu banyak tokoh-tokoh terkenal, Emha Ainun Najib contohnya, yang sangat menjunjung Umbu.
ND secara jujur menunjukkan keheranannya ketika mengetahui bahwa banyak tokoh, katakanlah seniman-seniman besar, yang menganggap Umbu sebagai guru.
Dalam keterangan lanjut, ND memberitahu kita pengetahuan penting bahwa figur “guru” ini bukan hal yang baru, melainkan sudah ada semenjak sistem pendidikan Taman Siswa dari Ki Hajar Dewantoro. Adapun ND memberikan arti “guru” di situ dengan mengutip perkataan Umbu: “Guru yang tidak pernah menggurui, dan tahu bagaimana menumbuhkan kebanggaan diri murid-muridnya”.
Bagaimanapun, figur guru Saini KM tidak seperti figur guru yang diperagakan Umbu. Saini KM tidak “memberikan” pengajaran puisi lewat:
“‘taman siswa puisi’ yang ia (Umbu) dirikan dan rawat itu berlangsung di jalanan, tanpa jam belajar, tanpa kurikulum, tanpa kelulusan. Ia mengajak para muridnya berjalan dengan tabah, menempuh jalan puisi berujung cakrawala,” meminjam kembali perkataan ND.