Jawabannya adalah, bisa ya dan tidak.
Ya, puisi jelek itu ada jika ia tidak punya kualitas primer. Katakanlah, Anda ingin menulis Haiku di beranda Facebook, misal.
Jika Haiku yang Anda tulis itu tidak terdiri dari 3 bait, dan tidak terdiri dari 17 suku kata, dimana bait pertama terdiri dari 5 suku kata, bait kedua 7 suku kata dan bait ketiga 5 suku kata, maka puisi Anda itu adalah tulisan yang jelek.
Ya, puisi Anda jelek. Alasannya, tulisan yang Anda niatkan sebagai Haiku itu tidak memenuhi persyaratan atau ketentuan untuk menjadi Haiku.
Tentu saja, puisi bagus juga bisa ada. Katakanlah Anda menulis tulisan jenis sonet di story akun Instagram milik Anda.
Kemudian di sana Anda menulis untaian kata yang terdiri dari 14 bait, di mana rima akhirnya terdiri dari a-b-b-a, a-b-b-a, c-d-c, d-c-d. Dengan begitu, secara kualitas primer, tulisan Anda itu adalah tulisan yang bagus, sebab bisa memenuhi kriteria puisi sonet.
Kembali, bagus atau jelek puisi itu bisa tidak ada, jika penilaian itu berada dalam konteks kualitas sekunder.
Katakanlah, Anda ingin menulis puisi hanya untuk mengungkapkan kekesalan terhadap pemerintah, misal, tanpa muluk-muluk membubuhkan bahwa puisi Anda itu berjenis gurindam atau pantun.
Kemudian, buzzer istana datang dan nge-reply puisi Anda itu dengan komentar yang pedas. “Puisi jelek. Kayak sampah!” balas mereka di kolom komentar, contoh. Dengan begitu, seratus atau bahkan seribu buzzer dengan komentar seperti itu seharusnya tidak membuat Anda jadi berkecil hati dan sedih lantaran puisi Anda itu “diinjak-injak”.
Pasalnya, mereka tidak sedang menghujat karya Anda itu dalam konteks kualitas primer, melainkan dalam konteks kualitas sekunder. Artinya, itu cuma persoalan selera. Mereka “mengkritik” karya Anda tidak lewat pengamatan atas ukuran-ukuran yang jelas atau standar-standar tertentu dalam penilaian.
Kesimpulan Sementara
Puisi yang bagus atau jelek itu bisa ada dan bisa juga tidak, tergantung dari mana Anda melihatnya, apakah dari segi kualitas primer atau kualitas sekunder.