Sejak ditetapkan sebagai cagar budaya, Stasiun Cirebon Prujakan terus melakukan berbagai pembenahan dengan mendesain ulang beberapa interior yang ada di dalam stasiun.
Stasiun Cirebon Prujakan sendiri ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya Berdasarkan SK Menbudpar No:PM. 58/PW.007/MKP/2010.
Alamat Stasiun Cirebon Prujakan (CNP) berada di Jalan kembar/Jalan Nyi Mas Gandasari, kelurahan Pekalangan, kecamatan Pekalipan, Cirebon
Stasiun Prujakan merupakan stasiun terbesar yang ada di Daerah Operasi III Cirebon, setelah Stasiun Cirebon dan Stasiun Jatibarang.
Jika melihat dari arsitektur bangunan Stasiun Kota Cirebon, arsitektur bernuansa eropa masih terlihat jelas pada bagian depan bangunan.
Kota Cirebon pada masa kolonial belanda sudah dikenal oleh kalangan masyarakat eropa. Tepatnya awal abad kelima belas.
Wilayah Cirebon waktu itu menjadi pusat perdagangan dengan berdiri pelabuhan besar untuk kegiatan perdagangan antar pulau dan luar negeri.
Selain orang-orang eropa, pelabuhan Cirebon sendiri banyak didatangi para pedagang yang berasal dari China, India dan jazirah Arab.
Sejak dulu Cirebon memang memiliki daya tarik sebagai pusat perdagangan, Bahkan dua kerajaan besar di Indonesia, Majapahit dan Kesultanan Mataram tidak lepas dari andil Cirebon kala itu.
Selain banyak dipengaruhi unsur Hindu dan Islam, umumnya penduduk Cirebon terdiri dari campuran suku Jawa, Sunda dan sebagian warga keturunan Tiongkok.
Adapun pengaruh Eropa (Belanda) dalam masyarakat Cirebon lebih banyak pada seni arsitektur bangunan batu, teknologi uap, dan pengenalan berbagai macam tanaman perkebunan.
Salah satu jenis tanaman yang budidayanya dikelola skala pabrik sejak sebelum Tanam Paksa 1830 adalah tebu.
Tebu menjadi komoditas terbesar yang mendominasi produksi Tanam Paksa. Porsi penanaman tebu di Cirebon bahkan melebihi luas sawah yang sudah ada sebelumnya.
Sampai 1865 sudah ada sekitar 700 hektar tanaman tebu yang tumbuh di Cirebon.
Setelah Undang-Undang Agraria disahkan pemerintah kolonial pada 1870, banyak pengusaha dari Eropa terutama Belanda yang ikut menanamkan modal pada bisnis pengolahan tebu di Cirebon.
Bisnis gula di tangan swasta kian menggeliat ketika 1878 Gubernur Jenderal Hindia Belanda menghapuskan sistem Tanam Paksa untuk tebu sekaligus membebaskan batasan ekspor gula ke Eropa.