Oleh: Deni Rizky
Pemerintah berencana akan menghapuskan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis bensin RON 88 atau kita kenal premium meskipun saat ini peremium sudah jarang kita temukan di (Stasiun Pengisisan Bahan Bakar Umum) SPBU, dan lambat laun masyarakat beralih ke pertalite dengan jenis RON 90 yang dimana kualitasnya di atas premium, tahun depan yang dimana hanya tinggal menghitung hari lagi kita akan masuk ke tahun 2022 pertalite juga akan ikut di hapuskan dan akan digantikan dengan Pertamax.
Tahun 2022 masyarakat hanya bisa menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang paling rendah yaitu pertamax dengan tujuan agar lebih ramah lingkungan, jika kebijakan ini ditetapkan oleh pemerintah apa dampaknya terhadap perekonomian Indonesia, terutama bagi masyarakat menengah kebawah?
Bahan Bakar Minya (BBM) meskipun kita kenal sebagai barang elastis secara teori atau kita kenal dimana jika harga barang tersebut naik maka akan berpengaruh terhadap permintaan, tetapi pada saat ini khususnya di Indonesia Bahan Bakar Minyak (BBM) adalah barang Inelastis yang dimana jika harganya naik tidak akan berpengaruh signifikan terhadap permintaan, karena hampir semua masyaraka Indonesia menggunakan BBM dan itu menjadi barang pokok.
Kita ketahui bahwa Konsumsi Bahan Bakara Minyak (BBM) di Indonesia pada kuartal III 2021 naik 3,19% menjadi 48,59 juta kiloliter dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2020. Sedangakan penggunaan bensin Pertalite per Juni 2020 sekitar 56,5 Persen, Pertamax 11 Persen dan Turbo 0,7 persen, pada bulan yang sama proporsi konsumsi Pertalite naik menjadi 70 persen seiring dengan mulainya tidak ada Peremium di beberapa SPBU.
Pertamax naik sebesar 15 persen,d an Turbo 1,2 persen. artinya pengguna BBM jenis Pertalite sangat banyak penggunanya karena salah satau alasan masyarakat menggunakan BBM jenis tersebut harganya murah dibandingkan dengan jenis Pertamax ke atas, jika jenis Pertalite dihapuskan maka BBM yang akan di beli masyarakatakan lebihmahal.
Sering kita dengar jika harga Bahan Bakar Minyak (BBM) naik maka harga-harga barang dan jasa lainnya juga akan ikut naik atau kita kenal inflasi. Apakah kebijakan tersebut cocok dengan kondisi ekonomi Indonesia yang masih belum stabil karena pandemi covid 19 masih berlangsung?