JAKARTA – Penerapan hukuman mati yang beberapa waktu terakhir cukup ramai diperbincangkan mendapat banyak tanggapan dari para ahli. Kali ini Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang menilai hukuman mati tidak akan memberikan efek jera bagi upaya pemberantasan korupsi di tanah air.
Wakil Koordinator Kontras Arif Nur Fikri menyoroti tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa dugaan korupsi PT. Asabri, Heru Hidayat. Yang dianggapnya tidak akan efektif memberikan efek jera pada pelakunya.
“Namun menjadi pertanyaan apa yang menjadi dasar JPU mengajukan tuntutan mati terhadap terdakwa, mengingat perkara-perkara korupsi cukup banyak, apakah dasar JPU adalah untuk memberikan efek jera,” kata Arif dalam keterangannya, Kamis (23/12).
Arif memandang, dalam kasus narkoba dan pembunuhan berencana, hukuman pidana mati dinilai tidak memberikan efek jera. Selain itu, seharusnya Kejaksaan Agung mendukung langkah pemerintahan Joko Widodo yang secara tidak langsung sedang melakukan moratorium hukuman mati.
Meskipun hukum positif di Indonesia masih membolehkan hukuman mati termasuk untuk kasus korupsi. Tetapi hukuman mati tersebut, seharusnya tidak diterapkan, karena terbukti tidak memberikan efek jera.
“Solusinya akan lebih bijak jika aparat penegak hukum mencari solusi penghukuman lain selain hukuman mati, jika tujuannya untuk memberikan efek jera ketimbang hukuman mati,” papar Arif.
Senada disampaikan Divisi Hukum Kontras Auliya Rayyan. Dia menilai hukuman mati pada dasarnya hanya melemahkan proses hukum. Menurutnya, hukuman mati tidak memberi pelajaran pada pelaku kejahatan termasuk tidak memberikan efek jera.
“Sudah ada banyak kasus korupsi yang hukumannya dipotong dengan alasan-alasan remeh berlaku baik, sangat menyesal, dan lain-lain. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa dalam kasus ini (kasus Asabri) hukuman mati cuma hanya jadi basa-basi belaka dan bisa saja berubah,” ucap Auliya.
Dia mengungkapkan, seharusnya sistem hukum di Indonesia dapat di evaluasi. Hal ini pun dilakukan untuk mengurangi potensi korupsi pada ruang lingkup pejabat publik.
“Oleh karena itu, yang mesti diubah tidak cuma sistem penghukuman untuk koruptor, tapi juga kebijakan-kebijakan lain yang dapat mempersempit pergerakan pejabat publik untuk melakukan korupsi,” tandas Auliya.