“Pendampingan yang dimaksud mencakup konseling, advokasi, layanan kesehatan, bantuan hukum, bimbingan sosial dan rohani, serta pendampingan bagi penyandang disabilitas,” katanya.
Terkait dengan pelindungan di sini, meliputi jaminan keberlanjutan pendidikan atau pekerjaan, penyediaan rumah aman, serta korban atau saksi bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang diberikan.
Sementara itu, kegiatan pemulihan terhadap korban dilakukan bersama pihak terkait dengan persetujuan korban atau saksi serta tidak mengurangi hak pembelajaran dan/atau kepegawaian. Selanjutnya, terkait pengenaan sanksi administratif, yakni menyasar kepada sanksi golongan, sanksi individu, serta sanksi untuk perguruan tinggi.
“Sanksi kepada pelaku harus berdasarkan dampak akibat perbuatannya terhadap kondisi korban dan lingkungan kampus, bukan besar peluang pelaku bertobat. Rektor dan direktur perguruan tinggi bertanggung jawab penuh untuk melaksanakan Permendikbudristek PPKS dan dapat menjatuhkan sanksi yang lebih berat dari rekomendasi satgas (satuan tugas),” tegasnya.
Disampaikan juga bahwa satgas di tingkat perguruan tinggi yang akan membantu rektor dan direktur melaksanakan Permendikbudristek PPKS, perlu memahami edukasi tentang pencegahan kekerasan seksual, mampu menangani pelaporan, menjamin kerahasiaan identitas pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan laporan dan menjaga independensi satgas.
Apabila keputusan pemimpin perguruan tinggi dirasa tidak adil, korban dan/atau terlapor dapat meminta Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dirjen Diktiristek) dan/atau Dirjen Pendidikan Vokasi (Dirjen Diksi) untuk melakukan pemeriksaan ulang. Rektor dan direktur harus memantau dan mengevaluasi rutin seluruh kegiatan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, serta kinerja satgas di kampusnya.
(Antara)