Banyak guru rela berkorban menjadi guru honorer dengan gaji minim selama rekrutmen ASN, hingga mengikutinya berulang kali karena tidak lulus seleksi, dengan harapan suatu saat dapat menikmati prestise ini.
Tapi, apakah status ASN membuat mereka menjadi berkualitas?
Riset dari SMERU menunjukkan rekrutmen guru ASN di Indonesia belum mampu menjaring calon guru berkualitas karena seleksinya mengabaikan penguasaan atas kompetensi guru. Namun selain itu, status ASN juga ternyata berakhir menjadi “zona nyaman” bagi guru karena minim ruang untuk pengembangan kapasitas.
Berikut curahan hati dari seorang guru muda dalam studi kami:
“Semangat saya saat ini sering naik-turun karena berada di zona nyaman selama setahun terakhir. Menyandang status CPNS mendadak menjadi sebuah beban berat […] Saya khawatir akan menjadi guru yang digaji oleh pemerintah, tetapi tidak bekerja dan mengabdi secara maksimal.”
Kami juga melakukan studi dengan mengikuti perjalanan 16 orang guru muda di Pulau Jawa selama tahun 2019-2020.
Kami menemukan bahwa kebijakan terkait profesi guru ASN tidak mampu mendorong mereka untuk mencapai standar kompetensi yang tinggi, dan minim insentif bagi mereka untuk mengembangkan karier.
Lemahnya kebijakan ini terlihat mulai dari tahap pelatihan, saat berproses di sekolah, hingga saat berupaya naik jenjang karier guru.
Tidak dilatih secara memadai, dibiarkan berjuang sendiri
Permasalahan pengembangan guru di Indonesia dimulai sejak awal karier mereka.
Seluruh guru ASN muda dalam studi kami, misalnya, merupakan lulusan Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Prajabatan. Program PPG ditujukan untuk membekali guru pemula dengan empat kompetensi guru (keilmuan, pedagogis atau pengajaran, kepribadian, dan sosial).
Sayangnya, para guru muda merasa program PPG belum memadai dan berbeda dengan realita di kelas, sehingga mereka merasa tidak kompeten dan kurang percaya diri saat mengajar.