Sidang Kasus Korupsi Aa Umbara, Ahli Ungkap Fakta Mengejutkan

BANDUNG – Sidang lanjutan kasus dugaan Korupsi Bantuan Sosial (Bansos) Covid-19 yang dilakukan Bupati nonaktif Kabupaten Bandung Barat (KBB), Aa Umbara Sutisna, selesai dilaksanakan di Pengadilan Negeri Bandung Kelas IA Khusus, Jl. L. L. R.E. Martadinata, Kota Bandung, pada Jum’at (15/10).

Dalam persidangan kali ini, Penasihat Hukum Aa Umbara, Rizky Rizgantara menghadirkan dua orang ahli. Satu diantaranya, seorang ahli atau konsultan barang dan jasa.

Rizky, kepada wartawan, menjelaskan soal keterangan ahli. Yakni terkait dakwaan yang dilontarkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, Pasal 12 V UU Tipikor.

“Jadi, ahli menerangkan bahwa pasal yang dipersangkakan terhadap Pak Bupati (Aa Umbara) dalam konteks pengadaan itu (Pasal 12 V UU Tipikor) bahwa setiap penyelenggara negara atau pegawai negeri yang ditugasi untuk mengawasi terkait dengan pengadaan, dia turut serta dalam pengadaan dan pemborongan,” katanya seusai Persidangan, Jum’at (15/10).

“Tadi diterangkan oleh ahli bahwa bupati itu bukan organisasi pengadaan, karena bupati itu ada di tataran wilayah terkait dengan penganggaran. Kalau sudah tahap pengadaan dan pelaksanaan, itu lepas hak dan kewenangan bupati,” ujarnya.

Selain itu, Rizky juga menjelaskan bahwa terdakwa Aa Umbara dalam kasus ini, bukan pejabat pengadaan. Sehingga dalam konteks ini terdakwa tidak punya opsi penyedia.

“Kemudian yang kedua, pak bupati itu bukan pejabat pengadaan. Jadi, kan, sesuai dengan dakwaan jaksa disebut bahwa bupati menujuk M Totoh, menunjuk Andri Wibawa,” lanjutnya.

“Nah dalam konteks ini secara formal barusan ahli menjelaskan bahwa memang bupati tidak punya hak untuk menunjuk opsi penyedia. Namun demikian pernah merekomendasikan sesuai keterangan saksi dari PPK, kepala dinas dalam perkara ini,” tambahnya.

Dirinya melanjutkan bahwa menurut ahli hal tersebut dikenal sebagai fungsi koordinasi dari pimpinan dan para staf.

“Dalam hal ini leading sector-nya adalah Dinas Sosial, jadi memberi saran. Dan itu dibolehkan, bukan intervensi,” terangnya.

“Jadi bukan Bupati yang bertanggung jawab, sebagaimana ketentuan pasal 12 yang didakwakan hari ini, tetapi adalah PPK. Karena Bupati adalah bukan pejabat atau organisasi pengadaan. Jadi Bupati tidak dapat dipersalahkan dalam konteks pasal 12, jika dalam proses pengadaan adanya pelanggaran secara pidana,” sambungnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan