JAKARTA – Mulai bulan September ini, sebagian besar sekolah di Indonesia sudah memberlakukan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas seiring melandainya pandemi Covid-19 di Tanah Air. PTM terbatas diizinkan untuk daerah dengan status PPKM level 1 sampai 3.
Meski wajib berlangsung dengan protokol kesehatan yang ketat, kenyataannya PTM masih menimbulkan keresahan bagi para orang tua. Di satu sisi, diakui pembelajaran jarak jauh membuat kualitas pendidikan anak menurun.
Meskipun begitu, di sisi lain interaksi fisik saat PTM dikhawatirkan menjadi penyebab penularan Covid-19 di lingkungan sekolah. Influencer Zee Zee Shahab, yang merupakan ibu dari dua anak, mengakui bahwa pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang berlangsung hampir dua tahun ini bukan metode yang ideal.
“Anakku yang pertama umur 8 tahun, masuk SD kelas 1 pas pandemi. Dia sampai nggak tahu nama teman-teman kelasnya. Sekarang dia jadi suka gampangin masalah. Kalau gak bisa, aku tinggal googling atau panggil mommy aja,” curhat Zee Zee dalam webinar Menghadapi Sekolah Tatap Muka, Sudah Siapkah Parents?, Selasa (28/9).
Meski belajar di rumah banyak kelemahan, bukan berarti dirinya sudah siap melepas anaknya kembali ke sekolah. “Jujur ya, aku belum siap dengan konsekuensinya. Untuk sekarang sekolah online lebih baik,” terang dia.
Keputusan itu ia ambil karena dirinya termasuk orang tua yang sedikit overthingking. Hingga saat ini pun Zee Zee belum memberikan izin untuk anaknya melaksanakan PTM.
“Kalau anak SMP atau SMA mungkin sudah mengerti protokol kesehatan, bagaimana sosialisasi di masa pandemi. Tapi kalau SD belum waktunya ya, karena kalau ketemu teman-teman euforianya beda. Bisa langsung lepas masker dan lupa jaga jarak,” tambahnya.
Sementara itu, Konsultan Dokter Spesialis Anak Makuku Family, dr. Andreas juga menyadari metode belajar di rumah menimbulkan stres. Tidak hanya pada anak, tapi juga orang tua. Akan tetapi, untuk menggelar PTM sekarang, ia melihat sebagai kebijakan yang terburu-buru.
“Keputusan PTM diambil pemerintah setelah melihat kasus positif dan angka kematiannya sudah turun. Tapi perlu diingat bahwa cakupan vaksinasi anak usia 12-18 tahun di Indonesia belum sampai 80 persen. Masalahnya lagi, ketersediaan fasilitas tes PCR di daerah belum sama banyaknya dengan di Jabodetabek. Ini harus hati-hati juga,” pesannya.