Ekonomi Rakyat Belum Stabil, Malah Muncul Wacana Pajak Sembako

JAKARTA – Wacana pemerintah menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) atas bahan pokok dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan memicu kontroversi di masyarakat.

Hal itu dinilai kontraproduktif bagi upaya pemulihan ekonomi yang saat ini masih terpukul akibat pandemi Covid-19.

Wakil Ketua Komisi XI DPR Fathan Subchi, menyoroti momentum bergulirnya wacana PPN untuk bahan pokok tersebut. Saat ini, situasi perekonomian makro masih belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19. Pertumbuhan ekonomi pun masih minus.

“Memunculkan wacana pajak bahan pokok di saat perekonomian belum sepenuhnya pulih akan memberikan dampak negatif. Seperti penurunan daya beli masyarakat, meningkatkan biaya produksi, hingga menekan psikologis petani. Harusnya pemerintah lebih hati-hati dalam menggulirkan wacana yang sensitif,” ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR Fathan Subchi, Senin (7/6).

Fathan menjelaskan, pihaknya telah menerima Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).

Dalam RUU KUP tersebut memang disebutkan ada tiga opsi skema tarif untuk menetapkan PPN Bahan Pokok yakni tarif umum dipatok 12 persen, tarif rendah sesuai skema multitarif 5 persen, dan tarif final dipatok 1 persen.

“Kami paham bahwa pemerintah harus memperluas basis pajak untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun ketika wacana ini disampaikan dalam waktu yang kurang tepat apalagi menyangkut bahan pokok yang menyangkut hajat hidup orang banyak, maka hal itu hanya akan memicu polemik yang bisa mengganggu upaya pemulihan ekonomi,”tuturnya.

Ia melanjutkan, skema penetapan tarif PPN untuk komoditas bahan pokok pertama kali muncul karena di undang-undang sebelumnya 11 bahan pokok bebas pajak. Bahkan Mahkamah Konstitusi (MK) melebarkan pemaknaan 11 bahan pokok itu menjadi apapun komoditas yang vital bagi masyarakat.

Fathan mengakui jika beberapa negara lain menjadikan komoditas bahan pokok sebagai objek pajak. Kendati demikian, apa yang terjadi di negara lain tidak bisa diterapkan begitu saja di Indonesia. Sebab, belum tentu aturan tersebut cocok dengan situasi dan kondisi di Indonesia.

“Ada perbedaan konteks seperti stabilitas harga komoditas, kepastian serapan pasar hasil panen, dan beberapa indikator lain yang kebetulan di Indonesia masih belum stabil,” katanya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan