JAKARTA – Mantan menteri negara pengawasan pembangunan dan lingkungan hidup era Soeharto, Emil Salim menilai, pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur sejatinya tidak serta merta akan memberi hasil pemerataan dan penurunan ketimpangan ekonomi di tanah air.
“Membangun ibu kota baru ibarat mulai lagi dari nol. Belum ada jaminan meratakan pembangunan. Jadi perlu realistis,” kata Emil yang juga selaku ekonom dalam diskusi daring, Sabtu (17/4/2021).
Menurut Emil, ketika pemindahan ibu kota negara terjadi, sejumlah gedung kementerian/lembaga yang selama ini menjadi ikon pembangunan di Indonesia justru akan berubah makna dan fungsi. Padahal, gedung-gedung itu punya nilai sejarah yang besar.
“Cost terbesar adalah historical dari ibu kota proklamasi saat ini yang merupakan pusat perkembangan sejarah akan lenyap dan mau ditukar gulingkan jadi komersial,” ujarnya.
“Bayangkan Kementerian Keuangan jadi mal, bayangkan, ini ngeri, apa faktor ini sudah diperhitungkan? Di sisi lain, bagaimana dampak politik dalam pembangunan ibu kota negara tersebut?” sambungnya.
Sementara itu, Ekonom Narasi Institute Fadhli Hasan menilai pemindahan ibu kota negara tidak perlu dilakukan tahun ini. Menurutnya, penanganan pandemi belum selesai. Sebab, dampaknya sangat dirasakan oleh masyarakat, seperti pengurangan pendapatan, pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga jurang ketimpangan yang semakin dalam.
“Pemerintah sebaiknya menunda rencana pemindahan ibu kota negara sampai penanganan covid-19 selesai. Sosialisasinya juga masih rendah saat ini,” kata Fadhil.
Di sisi lain, Fadhil menilai, pemerintah sejatinya belum punya dasar hukum yang jelas dan sah berlaku untuk memindahkan ibu kota negara. Buktinya, rancangan undang-undang (RUU) masih dibahas dengan DPR.
Namun sayangnya, pemerintah justru tetap mengikuti ego sendiri untuk meneruskan rencana pemindahan ibu kota negara. Hal ini tercermin dari aksi peletakan batu pertama (groundbreaking) di kawasan calon ibu kota baru.
“Artinya, peletakan batu pertama pembangunan ibu kota ini dilakukan tanpa ada payung hukumnya. Bagaimana jika DPR tidak menyetujui pemindahan ibu kota tersebut,” pungkasnya. (Fin.co.id)