Merespons hal itu, Saleh juga menuturkan, tidak mempermsalahkan hal tersebut, karena pada faktanya vaksin Nusantara ini diteliti oleh peneliti dari Balitbangkes Kementerian Kesehatan (Kemenkes), RSPAD Gatot Soebroto, RSUP Dr Kariadi dan Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah.
“Yang jelas buatan luar negeri itu vaksin Sinovac dan itu dipakai di Indonesia, tidak pernah dibilang-bilangin itu produk asing. Ini mentang-mentang buatan Indonesia dibilang ada komponen luar negerinya lah,” katanya.
Bahkan, lanjut Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) ini menuturkan, vaksin Sinovac dan AstraZeneca yang jelas-jelas dari luar negeri tidak pernah dipersoalkan.
“Ini komponen mayoritas milik dalam negeri malah disoal. Itu logikanya absurd dan tidak benar. Itu logika untuk menghalau produk dalam negeri sendiri,” katanya.
“Semestinya diskusinya efek kemanfaatan vaksin ini, efikasinya kan sebenarnya itu diskusinya. Ini kok diskusinya ke sana ke mari,” tambahnya.
Walaupun vaksin Nusantara belum mengizinkan vaksin Nusantara untuk melajutkan uji klinis tahap II. Namun Saleh percaya vaksin yang digagas oleh mantan Menteri Kesehatan (Menkes) ini sangat aman bagi manusia.
“Karena mereka yakin kebermanfaatan vaksin ini jelas-jelas bagus, karena itu mereka datang ke sana. Ini adalah kesadaran masing-masing dan mereka tidak dipaksa-paksa,” pungkasnya.
Diketahui, langkah anggota dewan berbondong-bondong menerima penyuntikan vaksin Nusantara ini bertentangan dengan sikap BPOM. Hingga saat ini, BPOM belum mengizinkan tim Vaksin Nusantara melanjutkan riset uji klinis ke tahap dua.
Alasannya menurut Kepala BPOM Penny Lukito, tim belum melaporkan tindakan korektif yang telah diminta atas apa yang sudah dikerjakan di uji klinis tahap satu. Vaksin Nusantara yang dikembangkan dari sel dendritik yang biasa digunakan dalam terapi kanker, Penny menerangkan, masih harus memenuhi beberapa syarat.
Di antaranya, Cara Uji Klinik yang Baik (Good Clinical Practical), Proof of Concept, Good Laboratory Practice dan Cara Pembuatan Obat yang Baik (Good Manufacturing Practice).
Terawan dkk, kata Penny, telah mengabaikan banyak aspek dalam pelaksanaan uji klinis fase I. Di antaranya, proof of yang belum terpenuhi dan antigen yang digunakan pada vaksin tersebut tidak memenuhi pharmaceutical grade.