“Hal pertama dianggap sarangnya kiri, jadi peristiwa ‘65 itu juga kita lihat bagaimana perempuan itu sedemikian rupa dibuat menjadi sesuatu yang buruk apabila terlibat dalam politik karena ada Gerwani di situ. Jadi ada stigmatisasi terhadap perempuan, otomatis penghilangan sejarah perempuan,” cetusnya.
Padahal, menurut dia, penduduk terbesar Indonesia adalah perempuan, di mana partisipasi perempuan dalam kancah politik ataupun dalam ranah publik semestinya mendapat tempat yang layak. Mereka, kata Rizal, sangat pantas dan berhak untuk itu.
“Tapi sejarah mereka tidak ada, sejarahnya itu sangat laki-laki, apalagi yang berkuasa adalah Tentara. Jadi, sangat maco begitu. Nah, mulailah kita menerbitkan banyak karya-karya tentang perempuan seperti karya Julia Indiati Suryakusuma, misalkan State Ibuism untuk memahami bagaimana Orde Baru menguasai rakyat tapi konteksnya dengan menggunakan studi perempuan,” terangnya.
Rizal juga mengatakan, seri penerbitan karya intelektual paling bergengsi yang dimulai dari studi tentang kemaritiman, lalu tentang perempuan, kemudian ’65 dinilai sebagai titik balik perubahan yang sangat dramatis tentang bagaimana hilangnya Indonesia untuk penghilangan sejumlah intelektual.
“Jadi orang-orang yang memiliki pemikiran tentang ke-Indonesiaan itu dihabisi, dipenjara, dibuang, maka kita mulai membuat penerbitan banyak sekali kajian tentang ‘65 dari mulai studi korban-korban ‘65, kemudian Richard Robison, kemudian Saskia Wieringa, Olle Tornquist, terus beberapa karya Peter Kasenda,” jelas Rizal.
Selain fokus terhadap studi 1965, Rizal mengatakan Kobam juga mengambil konsen pada sejarah lokal yang dinilai sebagai satu bagian integral dari sejarah nasional. “Selain ‘65 kita juga menerbitkan sejarah lokal, karena tidak mungkin ada sejarah nasional kalau tidak ada sejarah lokal. Di titik itu kita mau memahami bahwa kita membuka sejarah lokal Jakarta. Kita mau memahami bagaimana posisi Jakarta sebagai Ibu Kota itu menjadi semacam pusat dari kekuasaan Orde Baru. Jadi di luar Jakarta itu dianggap daerah tidak beradab,” imbuh dia.
Konsep negara yang demikian itu, imbuh Rizal, menyerupai apa yang belakangan dikenal dengan istilah negara patrimonial, yakni corak pemerintahan yang menempatkan seorang pemimpin negara (penguasa) bertindak secara superior atau menuruti kehendak pribadi.