“Jadi komunitas bambu itu bisa memproduksi buku-buku yang boleh dikatakan berbobot untuk mencerdaskan kehidupan bangsa untuk mengetahui apa-apa Indonesia ini. Tapi kita enggak punya cukup infrastruktur untuk mendukung bagaimana buku-buku yang baik itu bisa tiba ke pembaca di seluruh Indonesia dengan cepat dan murah,” urai dia.
Rizal juga tak menampik kalau kontrak kerja sama penjualan dengan toko buku Gramedia belakangan sudah diputus lantaran tak mampu memutar modal untuk operasional.
Ia mengatakan, dengan ceruk pembaca yang amat terbatas ditambah biaya distribusi yang mahal membuatnya mengambil keputusan untuk memasarkan buku-buku Kobam secara mandiri.
“Jadi buku-buku yang kami terbitkan ini ceruk kecil sekali. Kerjasama kita dengan toko buku seperti Gramedia saat ini juga sudah bermasalah. Sebab Gramedia sudah minta 55 persen. Artinya kan kita sudah enggak dapat untung sama sekali,” ucapnya.
“Dengan Togamas kita masih (kerja sama), cuma kita menghadapi banyak hal seperti sistem administrasi, tetapi kita menghargai bahwa sistem ini adalah sistem yang ada selama dia masih memahami kondisi perbukuan kita, masih menerima 35 persen. Tapi untuk Gramedia itu kita sudah enggak bisa,” beber Rizal.
Apalagi Gramedia, kata Rizal, sudah menghilangkan label toko bukunya semenjak 2014, jadi hanya tinggal Gramedia.
“Jadi enggak ada urusan dengan buku lagi. Jadi maksud saya itu kode keras,” katanya.
Di samping itu, alumnus Universitas Indonesia itu mengungkapkan, nasib yang dialami Kobam akhir-akhir ini tak ubahnya seperti nasib petani.
“Saya ulangi lagi, nasib Komunitas Bambu saat ini tidak jauh bedah dengan petani yang terendam sebenarnya. Compang-camping kami ini mencerminkan compang-campingnya negara. Nuraninya negara ini kan intelektualisme. Jadi kalau kita melihat elite hari ini enggak ada intelektualisme, yaitu gambaran tadi,” sindir Rizal.
Di akhir Rizal kembali menegaskan bahwa solusi terbaik untuk menyelamatkan nasib industri penerbitan buku yang terus terpuruk dari waktu ke waktu yakni hanya melalui pembentukan Dewan Perbukuan Nasional.
“Masalah ini sebetulnya bisa ditolong kalau Perpustakaan umum daerah itu hidup. Dan itu hanya akan terwujud jika ditopang oleh sebuah Dewan Perbukuan Nasional. Jadi anggapnya saja, Perpustakaan Umum Daerah itu kalau mau dibaca tinggal datang di sana buku-buku Kobam tersedia,” katanya.