Dikatakannya, Dewan ini lah yang nantinya bertugas menghidupkan Perpustakaan Umum Daerah, menunjang seluruh Perpustakaan Universitas, mengevaluasi seluruh koleksi mereka, dan mengirimkan buku-buku yang bisa menyumbang bagi pengayaan mental dan khasanah pengetahuan warga.
“Jadi kalau Presiden mau, bukan kebijakan menggratiskan ongkos kirim buku, tapi menghidupkan kembali perpustakaan, kemudian membuat dewan kuratorial buku nasional yang bertugas mengevaluasi perpustakaan umum daerah dengan koleksinya,” papar Rizal.
Rizal memaparkan bila hal tersebut dapat disesuaikan dengan potensi di setiap daerah. Dan kemudian menyarikan buku-buku yang sesuai dengan potensinya.
“Keunikannya, dan kekuatannya di setiap wilayah dan orientasinya akan ke mana,” papar Rizal.
“Nah, kemudian barang siapa yang mau mengirimkan buku di berbagai macam daerah, itu bisa menggunakan fasilitas yang dipunyai oleh Dewan Perbukuan Nasional itu yang berkoneksi dengan Pusbuk (Pusat Perbukuan) memberi tugas mengirim ke daerah-daerah. Jadi tinggal di sebut aja ini bukunya tentang maritim, jadi tahu itu mau dikirim ke mana,” tambahnya.
Terkait nasib penerbit Kobam sendiri, Rizal mengaku pihaknya saat ini sudah mulai kewalahan mengatasi omset penjualan yang mulai terjun bebas secara bertahap.
Kondisi buruk ini bahkan terjadi jauh sebelum adanya pandemi Covid-19. Meski begitu, hadirnya virus corona juga turut memperburuk situasi.
“Sampai hari kita sudah menerbitkan lebih dari 500 judul sejak 1998 sampai 2021. Tapi stok yang ada sih sekitar 200-an judul, karena kita sudah enggak sanggup lagi untuk mencetak ulang. Jadi ketika muncul pandemi itu sebenarnya kita sudah menghadapi masalah, bahwa buku-buku kita itu perlu waktu 8 sampai 10 tahun untuk habis. Untuk konsumsi 3.000 eksemplar, kita perlu 8 sampai 13 tahun, malah. Itu di tahun ke-4 sudah kita obral udah di atas 40-50 persen,” timpal dia.
“Artinya kita harus mengorbankan 4 tahun itu laku-enggak-laku kita harus kerja bakti enggak dapat untung sama sekali. Karena ongkos produksi 40 persen, royalti 10 persen udah 50. Terus kalau kita masuk distributor besar kaya Gramedia gitu minta 50 persen, jadi kita menghadapi problem sebenarnya,” tambahnya lagi.
Ia menuturkan bahwa selama ini banyak yang tidak tahu kondisi riil yang dihadapi dirinya bersama rekan-rekannya di Kobam. Bahwa faktanya hari ini bukan Kobam kehabisan stok pengetahuan untuk diproduksi secara luas, melainkan terganjal oleh infrastruktur distribusi pengetahuan yang terbatas.