Ratri dan adiknya mewarisi bakat tari ibu mereka. Ketika sang ibu mendirikan sanggar tari di rumah besar itu, Ratri dan sang adik ikut menjadi guru tari. Sang adik, Sita Tyasutami, jadi guru tari Jawa.
Ketiga anak itu sekolah dasar sampai menengah di Kanada –ikut ibu mereka yang mendapat beasiswa S-2 di sana. Sang ibu tetap mengasuh tiga anak itu ketika berpisah dengan sang suami – -yang bekerja di perusahaan konstruksi.
Dari cerita Ratri itu saya bisa membayangkan betapa tertekan ibu dan tiga anak itu saat dinyatakan sebagai pasien Covid No.1, 2, dan 3 di Indonesia. Apalagi diiringi berbagai gosip hoax yang jauh dari api.
Yang bisa membalikkan nama baik mereka adalah ini: Ratri menjadi orang dari golongan pertama yang mendonorkan plasma konvalesen. Maria sebenarnya juga mau. Tapi umurnyi di luar syarat yang diizinkan jadi pendonor.
Ratri saat donor plasma dipegangi ibunyi dan ditunggui adiknyi.
Ratri pun tercatat sebagai pendonor No. 02 plasma konvalesen di Indonesia. Seperti dipaskan saja: pasien Covid No. 02 menjadi pendonor konvalesen No. 02.
Setelah itu Ratri didatangi banyak orang: diminta jadi pendonor untuk pasien-pasien berikutnya. “Terutama di saat banyak tokoh agama tertentu banyak yang terkena Covid,” ujarnyi.
Waktu itu terapi plasma konvalesen masih dilakukan secara tertutup. Belum ada izin dari pemerintah. Baru Dr Mo sendiri yang berani melakukannya. Dasarnya: otonomi pasien. Yakni atas dasar permintaan pasien.
Sebenarnya akhir Maret itu Dr Mo sudah mengusulkan terapi plasma konvalesen kepada Presiden Jokowi. Respons tercepat datang dari Sekjen PDI-Perjuangan Hasto Kristianto. Dr Mo diminta presentasi di depan pimpinan PDI-Perjuangan.
Sejak itulah ide Dr Mo terus menggelinding. Ujungnya di bulan Desember 2020, saat Ketua BNPB Letnan Jenderal Doni Monardo minta Dr Mo presentasi. Saat itulah disepakati Palang Merah Indonesia (PMI) sebagai pelaksana bank plasma konvalesen. Sejak itu terapi plasma konvalesen menjadi resmi. Saya pun, saat terkena Covid, mendapat transfusi konvalesen 2 bag.
Di Zoom kemarin itu, Dr Mo mengakhiri sesi dengan nada tinggi. Itu karena Dr Anthony Tjio, orang Indonesia yang di Mayo Clinic Amerika, tidak setuju pada pengobatan konvalesen.