DEPOK – Mendengar nama Landhuis Tjimanggis mungkin masih banyak yang merasa asing. Sebab, kebanyakan warga, khususnya warga Depok mengasosiasikan bangunan tua peninggalan Belanda tersebut dengan sebutan ‘Rumah Cimanggis’ atau ‘Rumah Gede’.
Terlepas dari aneka penyebutan yang disematkan ke gedung lawas tersebut, terdapat sejumlah cerita yang sampai sekarang masih menuai silang pendapat, kalau bukan dibilang kontroversi.
Sebut saja, pengalaman baru-baru ini, di mana mantan Wakil Presiden M Jusuf Kalla yang sempat melontarkan pernyataan seputar bangunan angker tersebut yang kemudian berujung panen kritikan dari sejumlah pihak.
Insiden itu bermula pada saat berembus wacana akan digusurnya bangunan sejarah tersebut lantaran tanahnya termasuk dalam kawasan pembangunan kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).
Tepat di awal 2018, ketika itu Jusuf Kalla mengeluarkan bahasa bahwa tak ada yang salah jika Landhuis Tjimanggis terpaksa harus diratakan (dihancurkan), sebab ia merupakan gedung peninggalan Gubernur Jenderal yang terkenal korup.
Untuk itu, kata Kalla, tidak masalah kalau gedung tua tersebut dimusnahkan untuk satu kepentingan yang lebih besar.
Namun, tak lama setelah pernyataan itu keluar, Kalla pun dihujani kritikan sejumlah pihak yang menudingnya sebagai orang yang tidak mengerti – atau sekurang-kurangnya tidak menghargai – sejarah.
Pasca kejadian itu, pemerintah akhirnya melunturkan niat untuk meratakan situs sejarah tersebut. Rumah Cimanggis yang juga disebut Rumah Genteng itu pun kini menjadi cagar budaya dan semenjak 3 bulan terakhir mulai mendapatkan renovasi.
Menurut keterangan salah seorang warga Cisalak, Kecamatan Sukmajaya, Triyogi, 65, bahwa Rumah Gede itu sudah beberapa kali bergonta-ganti penghuni, sebelum akhirnya mengalami keruntuhan di sebagian sisinya.
“Dulu rumah itu ditempati Misionaris dari Jerman. Kemudian pergi dan ditempati pejabat-pejabat Belanda. Kemudian setelah Belanda angkat kaki dari Indonesia, gedung peninggalan itu akhirnya diambil alih oleh pihak pengelola Radio Republik Indonesia (RRI). Beberapa kali ditempati para karyawan RRI. Belakangan sebelum runtuh, gedung itu sempat dihuni warga sini, namanya (nenek) Fauzia,” papar Triyogi mengenai bangunan peninggalan sejarah tersebut kepada wartawan Jabarekspres.com, Senin (8/3).
Terlepas dari benar tidaknya cerita tersebut, Triyogi yang puluhan tahun bermukim di komplek RRI itu mengaku tahu betul sepak terjang gedung angker peninggalan Belanda tersebut.