Kamala Harris: Warna Asia dalam Pemerintahan AS

Anak-anak di desa Thulasendrapuram di selatan India membawa poster Harris ketika masyarakat disana berkumpul di sebuah kuil Hindu untuk memanjatkan rasa syukur atas kemenangan Biden-Harris. Perempuan-perempuan desa Thulasendrapuram menggambar mural di halaman dan para musisi memainkan musik tradisional. Harris pernah mengunjungi desa Thulasendrapuram ketika berusia 5 tahun.

Mereka berharap Kamala mengunjungi desa mereka setelah terpilih menjadi wakil presiden AS. Beberapa perempuan lanjut usia mengenang kakek Harris yang menyumbangkan dana untuk renovasi kuil, dan kini mereka bangga ada seorang perempuan asal India telah mengukir sejarah di Amerika. Sejarah baru Amerika ditulis oleh seorang perempuan yang kami anggap sebagai putri desa kami, dan Kamala Harris tumbuh dengan memeluk kebudayaan India.

Kamala Harris telah membuka mata dunia, bahwa kaum imigran dari berbagai pelosok duniapun jika sudah menjadi bagian dari masyarakat AS, dia berhak memilih dan dipilih untuk menjadi pemimpin AS, terlepas dari asal-usulnya yang dari Afrika, Asia, Amerika Latin dan lainnya. Editor-in-Chief majalah TIME, Edward Felsenthal, menyebut Biden dan Harris sebagai sosok yang memicu perubahan di AS yang tengah dilanda perpecahan. Sehingga kemudian Kamala dan Biden dinobatkan sebagai TIME Person of the Year untuk tahun 2020, karena dianggap telah mengubah kisah Amerika, karena menunjukkan bahwa kekuatan empati lebih hebat dari kemarahan perpecahan, karena membagikan visi pemulihan di dunia yang sedang berduka.

Itulah Kamala Harris tokoh fenomenal tahun 2020, dari seorang gadis kecil blasteran Jamaika-India menjadi orang nomor dua di negeri penguasa dunia. Dia hidup di lingkungan kaum minoritas yang untuk membuktikannya dibutuhkan kerja keras, yang menurut kriteria dari  Joseph Schumpeter (1934), masuk dalam kategori kaum “entrepreneur”. Kaum Entrepreneur adalah orang-orang yang mencoba menunjukkan  keistimewaan mereka dengan cara mengembangkan spirit to conquer (semangat untuk menaklukan).

Sementara kalau kita kaitkan dengan asumsi dari Everet Hagen (1975), bahwa yang memiliki  semangat untuk menaklukan itu muncul pada individu-individu yang mengalami withdrawal of status respect (pelecehan martabat), yakni perasaan tidak nyaman akibat pelecehan atau permusuhan sosial yang dialamatkan kepada mereka, terpinggirkan dari kehidupan, teralienasi dan sebagainya. Hagen menyimpulkan bahwa tekanan sosial telah membentuk semangat untuk menaklukan, dimana orang didorong untuk bekerja ekstrakeras, self-sufficient (mandiri), selalu berusaha memecahkan masalah, dan melakukan inovasi-inovasi demi menjaga kelangsungan hidup mereka, bisa jadi itulah yang dialami oleh Kamala, gadis hitam ditengah masyarakat kulit putih yang mendominasi.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan