Ia menambahkan, dua agenda besar itu bisa dilakukan dengan cara melakukan pemekaran dan ketersediaan kucuran anggaran yang sifatnya given.
“Diam saja diberikan. Saya mendengar bahwa ada para kades yang enggan desanya dimekarkan padahal jumlah penduduknya sudah melebihi karena khawatir DD (dana desa)-nya dibelah dua,” tuturnya.
Menurutnya, tentu hal tersebut pemikiran yang sempit dan kurang wawasan, karena faktanya tak seperti itu. “Saya beri contoh, saat saya reses di sebuah desa yang penduduknya berjumlah 14 ribuan, DD-nya hanya sekitar Rp1,2 Miliar lalu saat reses di desa lainnya yang jumlah penduduknya 7 ribuan, besaran DD-nya adalah Rp900 jutaan,” jelasnya.
Maka, dapat hitung jika satu desa yang jumlah penduduknya 14 ribuan itu dimekarkan jadi dua desa, maka total DD yang akan diperoleh akan menjadi Rp1,8 Miliar.
Kang AW mengungkapkan, besaran rata-rata DD tiap desa sebagaimana disampaikan Menteri Dalam Negeri sekitar Rp900 jutaan. “Sehingga buat para kades pun justru bebannya akan lebih ringan, mengecil memang anggaran desanya tetapi warga yang diurusin pun jauh lebih sedikit,” ucapnya.
Kondisi tersebut, yang terjadi di desa-desa di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Jalan lingkungannya menjadi bagus-bagus dan mulus. Pemkab pun tak pusing dengan aneka pembangunan di desa, jalan lingkungannya, selokan irigasinya lah, karena semua sudah bisa dilakukan oleh pemerintah desanya,” ungkapnya.
Kang AW kembali menegaskan, komitmen untuk menyejahtrakan rakyat harus berangkat dari keberadaan ruang fiskal yang cukup.
“DOB bagi Jawa Barat tetap penting karena masih banyak Kabupaten yang padat penduduknya, bagi Kabupaten Bogor sendiri jangkauan pelayanan publiknya sekarang sudah kesulitan untuk di-handle oleh Cibinong selain karena faktor luasannya juga karena beban kepadatan penduduknya,” kata dia.
Di sisi lain, pelayanan publik oleh warga pada satuan pemerintahan terkecil pun juga tak kalah pentingnya. Sehingga, posisi pemerintahan desa pun harus dibuat secara proporsional.
Ia mengakui, desa dengan jumlah penduduk diatas 10 ribu itu dipastikan tak akan maksimal dalam melakukan pelayanannya, karena jauh melebihi standar minimal jumlah penduduk yang ditentukan oleh Undang-Undang Desa yang untuk desa di Pulau Jawa minimal jumlahnya mulai dari 5.000 jiwa.