“Jadi dana desa yang diubah menjadi BLT Rp 600 ribu per/KK, nah itu kemudian dipotong oleh aparat desa sendiri, ya mungkin bisa juga termasuk RW. Kalau itu banyak laporannya dan sudah masuk kaus pidana,” ucap Yunandar.
Nah kalau bantuan provinsi, sambung dia, itu diberikannya langsung, tidak lewat RW. Jika memang betul ada, itu penyimpangan kasuistik. Sehingga, memang RW-nya harus ditindak.
“Mungkin mereka merasa yang mendaftarkan lewat aplikasi pikobar. Padahal bukan begitu maksudnya. Itu kan bagian dari sistem yang ada di mana tugas RW mendaftarkan warganya yang layak menerima,” sambungnya.
Dirinya mengaku, pemotongan seperti ini sifatnya memang sulit diketahui. Sebab, ini bukan dipotong di tengah jalan, melainkan setelah menerima lalu memberikan.
“Ya menurut saya harusnya dilaporkan saja,” tegasnya
Politisi PDI-P itu menyampaikan, temuan tersebut harus jadi perhatian semua. Kalau perlu bentuknya semacam media sosial untuk mengumumkan hal-hal seperti itu.
“Jadi nanti ketahuan pelanggaran itu terjadi di RW mana, kelurahan mana. Tapi pada intinya secara sistem ketika sampai penerima bansos itu harus utuh tidak ada potongan lagi. Karena tidak ada biaya pengiriman itu di luar Rp 500 ribu itu,” terangnya.
Jabar Ekspres berupaya meminta penjelasan secara rinci soal teknis dan penyaluran bansos kepada Kadinsos Jabar, Dodo Suhendar. Namun, tengah melakukan pemantau di lapangan, tepatnya di Garut Selatan. “Besok aja ya kang, saya lagi di lapangan, Garut Selatan,” kata Dodo melalui pesan singkat. (mg1/drx)