Sejumlah pemangkasan aturan perizinan, penanaman modal, ketenagakerjaan dan lain-lain, yang diatasnamakan sebagai bentuk “reformasi birokrasi” dan “peningkatan efektivitas tata kelola pemerintahan”, justru berpotensi menjadi hambatan bagi hadirnya “pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan” (growth with equity).
Keempat, Partai Demokrat memandang RUU Cipta Kerja telah mencerminkan bergesernya semangat Pancasila utamanya sila keadilan sosial (social justice) ke arah ekonomi yang terlalu kapitalistik dan terlalu neo-liberalistik. Sehingga perlu dipertanyakan, apakah RUU Ciptaker ini masih mengandung prinsip-prinsip keadilan sosial (social justice) tersebut sesuai yang diamanahkan oleh para founding fathers bangsa ini?
Kelima, selain cacat substansi, RUU Cipta Kerja ini juga cacat prosedur. Fraksi Partai Demokrat menilai, proses pembahasan hal-hal krusial dalam RUU ini kurang transparan dan akuntabel. Pembahasan RUU ini tidak banyak melibatkan elemen masyarakat, pekerja dan jaringan civil society yang akan menjaga ekosistem ekonomi dan keseimbangan relasi Tripartit, antara pengusaha, pekerja dan pemerintah.
Selain lima hal tadi, Partai Demokrat juga memiliki catatan lain. Pertama, terkait ketidakadilan di sektor ketenagakerjaan, antara lain mengenai aturan prinsip ”no work no pay” oleh pengusaha karena upah dibayar berdasarkan satuan waktu kerja per jam. Selanjutnya, RUU Cipta Kerja ini juga memberikan kemudahan dan kelonggaran yang berlebihan bagi perusahaan untuk mempekerjakan tenaga kerja asing.
Selain itu, RUU Cipta Kerja ini juga akan berimplikasi terhadap nasib sektor UMKM, konsumen, dan hukum bisnis. Bagi UMKM dan sektor informal, substansi RUU Cipta Kerja tidak menjawab kebutuhan di lapangan. Prinsipnya, perlindungan terhadap hak-hak para pekerja adalah hal yang fundamental untuk diperjuangkan. (drx)