Menurut Boyamin, KPK sejatinya telah memiliki alasan yang kuat untuk mengambil alih perkara mengacu pada ketentuan tersebut. Sebab, menurut dia, terdapat indikasi bahwa terdapat pihak yang berupaya melindung Pinangki selaku pelaku tindak pidana korupsi.
“Misalnya dugaan-dugaan proses Pinangki itu mendapat perlindungan-perlindungan. Misalnya dulu untuk proses dipecat saja tarik ulur, mendapatkan izin atau mau dibela oleh lawyer meskipun kemudian batal misalnya. Tapi kan proses-proses perlindungan itu kan ada,” tegasnya.
Terpisah, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar menilai keputusan Kejaksaan Agung yang bersikeras menangani perkara Pinangki justru menimbulkan spekulasi bahwa ada sesuatu yang ditutupi.
“Seharusnya Kejaksaan Agung dengan ikhlas dan kesadaran penuh menyerahkan, karena baik penyidikan maupun penuntutan yang dilakukan KPK juga dilakukan oleh penegak hukum Indonesia yang juga oleh jaksa Kejaksaan RI. Jadi ngototnya Kejaksaan Agung menangani sendiri justru menimbulkan spekulasi ada borok besar yang sengaja ingin ditutupi,” kata Fickar kepada FIN.
Fickar menambahkan, seharusnya KPK mengambil alih penanganan kasus tersebut. Karena, menurut dia, sejumlah alasan serta dasar pengambilalihan perkara telah terpenuhi.
Beberapa di antaranya, kata Fickar, seperti pengakuan Pinangki yang menyebutkan pertemuan dengan Joko Tjandra di Kuala Lumpur, Malaysia, dilaporkan kepada Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Hal ini, menurut Fickar, berpotensi menimbulkan konflik kepentingan bagi penyidik di Kejaksaan Agung yang menangani kasus tersebut. (riz/gw/fin)