Yakni ketika kanker hati saya kian parah dan kaki saya sudah kian bengkak. Sirosis di hati saya membuat darah tidak bisa masuk semua ke dalam hati. Albumin saya merosot. Ginjal pun tidak bisa menyisihkan air dari darah.
Darah yang tidak bisa masuk ke hati itu tertahan di mana-mana –mengakibatkan varises di saluran pencernaan.
Air yang tidak bisa dipisahkan dari darah itu tidak bisa keluar dalam bentuk kencing –mengakibatkan badan sampai kaki bengkak semua.
“Bertemulah dokter ini di Singapura,” ujar Prof Budi sambil menuliskan nama dokter itu. “Nanti malam saya telepon dokter itu,” tambahnya.
Saya pun tidak perlu membuat janji sendiri. Begitu tiba di RS Mt. Elizabeth saya bisa langsung masuk ke ruang praktiknya.
“Bengkak ini tidak bisa diatasi tanpa operasi?” tanya saya.
“Mau dibiarkan saja?” tanya dokter.
“Kalau bengkaknya terus membesar bagaimana?” tanya saya sambil menunjuk sepatu yang sudah sesak.
“Beli saja sepatu yang lebih besar. Lalu beli lagi yang lebih besar lagi,” jawabnya.
Saya tahu itu hanya humor. Seperti juga temannya yang di Surabaya itu.
Ia hanya bisa membantu saya untuk buying time. Agar saya tidak mati mendadak akibat pecahnya varises di saluran pencernaan –lalu muntah darah.
Setelah itu saya harus transplan hati. “Tidak ada jalan lain,” katanya.
Dokter itulah yang membuat saya mengambil kata putus: ganti hati. 14 tahun lalu.
Saya akan mengabarinya bahwa teman baiknya di Surabaya baru saja meninggal. Tentu ia akan banyak bertanya mengapa sampai terjadi. Apalagi istri Prof Budi Warsono juga lagi kritis di ICU.
Setidaknya temannya itu akan sangat lega karena semua cita-cita Prof Budi sudah tercapai.
Tentu Prof Budi sudah lama melupakan saat-saat menderita dalam status ‘ngenger’ di Surabaya. Yang masa itu selalu beliau kenang sebagai masa yang ‘termiskin di dunia’ –terasa ini pun mengutip judul sebuah lagu.
Masa itu ia harus meninggalkan kampungnya di Blitar. Ia baru tamat SMAN 1 Blitar –salah satu SMA terbaik di Jatim saat itu.