SEBELUM dikremasi, jenazah itu dibawa dulu keliling beberapa tempat. Ke sekolah yang didirikannya, ke gereja yang ia bangun, ke pabrik sepatu yang ia besarkan, dan akhirnya baru ke tempat pembakaran mayat di Kembang Kuning Surabaya.
Itulah penghormatan di hari terakhir Suwadji Widjaja, 77 tahun. Di tempat-tempat yang disinggahi itu orang-orang berdiri di pinggir jalan. Mengelu-elukannya. Mengucapkan terima kasih padanya.
Suwadji meninggal justru setelah dinyatakan negatif dari Covid-19. Tapi anak sulung dari 6 bersaudara ini belum boleh pulang. Masih ada sakit lainnya.
Sebenarnya Suwadji akan dibawa berobat ke Singapura. Tapi di zaman pandemi seperti ini tidak mudah membawa orang sakit ke sana.
Pasien yang bisa diterima di Singapura harus memenuhi dua syarat. Pertama, pasien itu bukan penderita Covid-19. Kedua, haruslah pasien yang ke sana untuk menjalani pengobatan lanjutan di dokter langganannya di Singapura.
Untuk yang pertama Suwadji memenuhi syarat. Ia sudah negatif Covid-19. Tidak sampai tiga minggu di RS, Suwadji sudah negatif. Ventilator juga sudah dilepas. Kemampuan paru-parunya mengisap oksigen juga sudah normal.
Tapi persyaratan kedua yang tidak bisa. Suwadji bukan orang yang biasa berobat di Singapura. Ia orang kaya raya yang sangat sederhana. Ia tidak kenal satu pun dokter di sana. Ia tidak pernah sakit serius.
Manusia memang harus meninggal dunia –bila saatnya tiba. Pun Suwadji. Pemilik pabrik sepatu terbesar di Surabaya itu.
Adik-adiknya sedih semua. “Seperti disambar petir,” ujar Helen Widjaja, sang adik bungsu.
Dalam dua minggu Helen kehilangan dua kakak. Padahal, 2 tahun lalu, juga kehilangan kakak kedua.
Tiga orang itu, di mata keluarga, istimewa semua. Merekalah perintis dan pembangun perusahaan. Mereka pekerja keras, sederhana dan pinter-pinter semua.
Suwadji itu misalnya, jam tangannya saja merk Seiko. Ketika ditanya kenapa tidak membeli Rolex, Suwadji mengatakan Seiko juga tepat waktu. Sama saja.
Bajunya pun itu-itu juga. Kalau tidak batik hijau, ya batik merah.
Kalau ada yang bertanya ‘bagaimana cara bisa kaya’ Suwadji selalu balik bertanya: kaya untuk apa?