Masa Pandemi, Kehidupan Guru Honorer di Kabupaten Sumedang Kian Menyedihkan

“Kita beri tugas siswa. Saya via WhatsApp untuk memberi tugasnya. Ada lah untuk kebutuhan kuota, itu dari sekolah. Kan sudah pasti ada anggarannya,” sebutnya.

YS yang menjadi tenaga honorer sejak 2011 itu, mengatakan bahwa untuk honor yang diterimanya, sesuai pemberian dari sekolah. “Honor mah kebijakan sekolah,” ucapnya.

Hingga saat ini, YS mengaku, sempat ikut seleksi CPNS sebanyak dua kali. Terakhir, dia pun ikut seleksi di Tahun 2019, namun keberuntungan belum memihaknya. Dia pun, sebelumnya berencana lagi ikut pada tahun ini. “Tapi kan ditiadakan dulu, ya jadi enggak lah,” tukasnya. (sep)

Pagi Ngajar, Siang Nyari Rumput

JATINANGOR – Potret buram pendidikan semakin kentara pada masa pendemi ini. Kala siswa disibukkan dengan belajar daring, sementara guru, terutama honorer, bergelut dengan kehidupan yang serba kekurangan.

Seperti yang dialami Ade Rusmin, seorang guru honorer SMA di salah satu sekolah swasta. Dengan honor Rp 600 ribuan tiap bulannya, dia harus menutupi kebutuhan hidup keluarga, dengan menyambi pekerjaan lain.

Untuk itu, dia rela menghabiskan waktu luang setelah mengajar melalui daring, dengan mencari rumput. Rumput itu, dia jual ke sejumlah pemilik domba, seharga Rp 30 ribu per karung.

“Lumayan buat beli makan anak, ngarit dan rumputnya dijual ke peternak. Tapi tidak tiap hari, tergantung ada pesanan,” ujar bincang dengan Sumeks, kemarin.Ade ketika berbincang-

Namun demikian, dirinya tidak menampik memiliki beberapa ekor domba. “Alhamdulillah punya lima ekor domba yang awalnya dua ekor, sajodo. Domba paling dijual setelah usia satu tahun,” katanya.

Sementara itu, pada masa pendemi dia tidak melupakan kewajiban utamanya. Guru Matematika itu mengatakan, meskipun tidak tatap muka, namun setiap guru wajib melakukan home visit setiap dua minggu sekali ke rumah siswa. Uang transport-nya pun ditanggung sendiri alias tidak dibebankan ke sekolah.

“Home visit atau kunjungan ke rumah paling bimbel mengajar dan memeriksa tugas. Kita datang ke tiap kelompok siswa yang berjumlah 4-5 orang,” katanya.

Sedangkan untuk online, diakui dia, pernah ada bantuan dari sekolah Rp100 ribu per tiga bulan untuk membeli kuota. “Bantuan kuota itu dua kali. Sekarang belum ada lagi. Gaji dari sekolah tidak cukup untuk membeli kuota,” ujarnya. (imn)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan