BANDUNG – Wakil Ketua Komisi V DPRD Jawa Barat (Jabar) Abdul Hadi Wijaya berpendapat bahwa rencana Disdik Provinsi Jawa Barat memberlakukan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) keputusan yang sepintas atau sebatas menargetkan popularitas.
“Yang harus dijadikan pokok pikirannya, parameter sebuah prestasi bukan ketika sekolah kembali memberlakukan KBM, itu bukan prestasi,”kata Hadi saat ditemui Jabar Ekspres di Kantor DPRD Jawa Barat, Senin (17/8).
Ketika KBM kembali diberlakukan, dikatakan Hadi, keselamatan anak harus dijamin. Dia pun memahami kondisi pembelajaran jarak jauh selama ini tidak efektif dalam peningkatan mutu pendidikan, namun hal tersebut jangan sampai berbenturan pada analisis kebijakan dari para ahli epidemologi dan ahli kebijakan, tentunya.
“Akan tetapi yang terpenting, anak – anak kita ini dijamin keselamatannya tidak. Jadi kalau mau sekarang ada 10 persen dari sekian seratus sekolah yang mulai tatap muka ada kisaran 50 sekolah mulai tatap muka di Jawa Barat, apakah pemerintah siap menjamin,” tanyanya.
Meskipun dari para ahli epidemologi mengatakan di daerah yang bersangkutan sudah layak KBM tatap muka, tetapi Dia mengingatkan Pemerintah Provinsi dalam hal ini jangan mencari kerennya saja.
“Jangan sampai satu anak tertular terpapar akhirnya menjadi klaster baru, karena alasan tadi rasa kepingin mengejar supaya keren, karena dipandang sudah memulai sekolah,” paparnya.
Hadi mengusulkan, jika Disdik bertekad kembali menerapkan KBM tatap muka di beberapa sekolah alangkah baiknya dilaksanakan secara bertahap dengan mengikuti petunjuk Kemendikbud. Pengaturan jadwal pembelajaran, semisalnya dalam satu kelas cukup 30 persen siswa saja, sebagian siswanya lagi mengikuti materi dari layar monitor di tempat masing-masing.
Tidak kalah pentingnya lagi, sambung Hadi yakni melibatkan persetujuan orangtua siswa (wali siswa) dengan persetujuan tertulis, hal tersebut juga sesuai degan arahan keputusan Kemendikbud.
“Jadi antar sekolah dengan orangtua harus membuat pernyataan tertulis bahwa disetujui atau tidaknya. Karena resiko ditanggung oleh mereka (orangtua). Negara tidak mungkin akan bisa membayar pemeriksaan jika salahsatu siswa terpapar,”paparnya.
Hadi mengingatkan, jika disalah-satunya terpapar maka pemerintah harus melaksanakan penelusuran baik dengan rapid test dan swab test, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah berharap dengan pemerintah, sedangkan biaya rapid test dan swab test kepada swasta saja Rp 2 juta perorang.