BANDUNG – Kebijakan pemerintah pusat yang akan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) upah kepada pegawai/pekerja sebesar Rp 600 ribu perbulan selama empat bulan dengan syarat gaji di bawah Rp 5 juta, menjadi pro kontra di tengah masyarakat. Hal itu dikarenakan ada persyaratan yang memberatkan pekerja lainnya lantaran harus terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI, Roy Jinto Ferianto menyambut baik dengan adanya bantuan dari pemerintah bagi pekerja tersebut. Namun, baginya ada persyaratan yang memang perlu dikoreksi.
Roy pun menilai program BLT upah tersebut sangat mendiskriminasi pekerja. Sebab, masih banyak buruh yang upahnya di bawah Rp 5 juta perbulan namun tidak didaftarkan perusahaan ke BPJS Ketenagakerjaan.
“Perlu diperhatikan oleh pemerintah, program subsidi BLT upah ini jangan ada diskriminasi, karena masih banyak buruh yang upahnya di bawah Rp 5 juta perbulan, tapi tidak didaftarkan oleh perusahaan ke BPJS Ketenagakerjaan,” tegas Roy saat dihubungi, Minggu (9/8).
Roy menjelaskan, semua pekerja agar mendapatkan hak yang sama, sehingga program ini menjadi tepat sasaran dan tidak diskriminasi di tengah para pekerja. Sebab, berbicara dampak Covid-19, semua buruh merasakan dampaknya.
Kemudian, Roy pun meminta kepada seluruh perusahaan untuk melaporkan data upah buruhnya ke BPJS Ketenagakerjaan secara benar.
“Kalau tidak salah program subsidi BLT upah ini sudah dilaksanakan di beberapa negara lain seperti Selandia Baru, Eropa Barat, Singapura, Australia dan kita berharap agar program ini bisa terus berjalan selama pandemi covid 19, agar daya beli terus meningkat sehingga pertumbuhan ekonomi dapat meningkat,” paparnya.
Disinggung mengenai Jabar penyumbang terbanyak karyawan yang di PHK dan di rumahkan selama Covid-19. Dirinya membenarkan bahwa Jabar merupakan perusahaan terbanyak di Indonesia. Namun kata dia, untuk yang dirumahkan tidak.
“Kalau melihat data jumlah pekerja dan industri memang terbesar di provinsi Jawa Barat, oleh karena itu pastinya jumlah pekerja dirumahkan dampak pandemi Covid-19 banyak, dan saat ini sebagian besar buruh yang dirumahkan sudah kembali lagi bekerja seperti biasanya, dirumahkan belum tentu ujungnya di PHK, jadi data yang di PHK dan dirumahkan harus dipisahkan,” paparnya.