“Usulan kami dengan uang atau voucher di antaranya untuk efektif dan efisien. Juga terhindar dari adanya penyelewengan. Apalagi kalau sifatnya langsung diterima oleh masyarakat ke rekening masing-masing. Kita bisa menghindari korupsi. Sayangnya usulan kami tidak diterima,” tegasnya.
Dikatakan, pihaknya sudah melakukan pemantauan bansos ke lapangan. Ditemukan beberapa kendala dalam penyaluran bansos ini.
Bahkan, ada kasus paket sembako itu hanya didrop di balai desa, karena PT Pos tidak menyalurkan ke setiap penerima. Ini akan membebani aparat di wilayah itu.
“Ya inilah permasalahan-permasalahan dari sebuah kebijakan. Coba dari awal diminimalisasi, mungkin tidak seperti ini jadinya,” jelas Yunandar.
Menurutnya, yang namanya barang kadang ada stok tapi kadang tidak ada di pasaran. Seperti sarden, ternyata ditemukan yang kadaluarsa. “Bisa jadi ini karena dipaksakan, yang penting ada. Atau yang penting didistribusikan,” ujarnya.
Seperti pada telur, kata dia, ternyata banyak masalahnya. Begitu juga dalam distribusinya, banyak kendala ditemukan. Belum lagi soal lambatnya pendistribusian yang meleset dari target. “Coba kalau pakai uang atau voucher, tidak akan seribet ini permasalahannya,” terangnya.
Sebelumnya, kasus sunat bansos sempat muncul menimpa warga Desa Baranangsiang, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat (KBB) yang dilakukan oleh oknum desa.
Berdasarkan penuturan salah seorang warga yang menerima bantuan, Dede (44), pihak desa melakukan pemotongan uang bantuan sosial sebesar Rp 1,2 juta terhadap dirinya.
Seharusnya Dede mendapatkan jatah uang bantuan dari Kementerian Sosial itu senilai Rp 1,8 juta untuk 3 bulan, namun ia hanya menerima Rp 600 ribu atau sama dengan jatah sebulan setelah dipotong oleh aparat desa setempat.
“Iya uang bantuan saya dipotong Rp 1,2 juta sama pihak desa. Harusnya saya terima Rp 1,8 juta, tapi hanya Rp 600 ribu. Ya saya enggak bisa menolak,” tandasnya. (bbs/drx)