Rasanya ini rekor sepanjang masa. Pun tidak mungkin terjadi kalau bukan Tiongkok. Bukan saja perizinannya cepat tapi mencari relawan di sana tidak perlu tim sukses. Terutama untuk relawan tahap satu. Yang fokusnya pada dampak efek samping. Betapa bahayanya. Di tahap ini perlu waktu dan penelitian yang sangat cukup untuk mengetahui aman tidaknya obat baru.
Itu masih diteruskan dengan uji coba tahap dua: untuk mengetahui tingkat keberhasilan. Dengan jumlah relawan sampai 60 orang. Semua itu sudah sukses dilakukan di Tiongkok. Tinggal uji coba tahap tiga. Yang sasarannya tidak boleh hanya di satu negara. Itulah sebabnya biayanya mahal sekali. Kalau di dunia barat.
Dengan uji coba di banyak negara maka efektivitas obat/vaksin baru bisa diketahui secara luas. Pun terhadap berbagai jenis manusia. Yang gen dan darahnya berbeda-beda. Saya bersyukur Indonesia dipilih menjadi salah satu dari banyak negara lain untuk uji coba tahap tiga itu. Itu sebagai pertanda bahwa kita akan boleh memproduksi sendiri nantinya.
Bagaimana dengan Amerika dan India?
Di sana banyak Pilkada.
Di kita pun mungkin ada juga akan protes: kok kita dijadikan kelinci percobaan.
Apakah mencari relawan di Indonesia tidak sulit? Apakah akan menuntut sama dengan relawan pilkada?
Harusnya mudah. Dan tidak harus membayar. Saya mau tidak usah dibayar. Tapi umur saya mungkin tidak cocok lagi.
Relawan tahap tiga ini harus dari berbagai macam manusia: anak, remaja, muda, setengah umur dan orang tua –asal jangan tua sekali. Masing-masing dengan jenis kelamin yang berbeda-beda: laki, perempuan dan yang half-half.
Asal daerah mereka juga harus beda-beda: kota, desa, dan yang seperti lagunya Rhoma Irama itu: ada Jawa, Sunda, Tionghoa, Batak, Bugis dan lain-lainnya.
Nama vaksin itu: belum ada. Hanya disebut ‘Vaksin Sinovac’ –vaksin buatan perusahaan Tiongkok bernama PT Sinovac. Di Indonesia uji coba itu dilakukan oleh PT Biofarma, sebuah BUMN yang laboratorium besarnya di Bandung.
Biofarma punya pengalaman panjang di bidang ini. Terutama ketika ahli Indonesia menemukan vaksin flu burung –rasanya dari ahli di Universitas Airlangga? Biofarmalah yang melahirkannya.