Itu dia anggap sangat penting.
Lebih penting dari penemuan ilmiah seperti Dokter Andani. Sekali lagi saya malu kepada pembaca DI’s Way. Harus menyebut nama itu lagi.
Saya heran, pun Melinial Nakal seperti Alghozi juga dianggap tidak penting. Tiga hari lamanya ia di Surabaya. Hasilnya: tidak berhasil bertemu beliau.
Apa yang akan terjadi kalau angka Covid-19 itu naik terus?
Anda pun sudah tahu: secara ekonomi akan kian sulit. Kembali ke PSBB? Juga sulit. Masyarakat sudah lelah dengan PSPB yang lalu. Daya tahan masyarakat sudah sangat terbatas. Terutama masyarakat golongan menengah ke bawah. Mereka tidak mungkin tidak keluar rumah: cari penghasilan.
Itu berbeda dengan golongan menengah ke atas: yang tetap bisa makan meski tidak bekerja.
Satu-satunya cara –agar mereka mau tinggal di rumah– adalah bantuan sosial. Yang nilai dan tanggalnya pasti.
Itu berarti harus menggunakan dana negara. Rakyat miskin harus digaji. Untuk apa? Agar mau tinggal di rumah. Tidak keluyuran yang bisa tertular Covid-19. Atau menularkan.
Mungkin jumlah mereka sampai 40 juta rumah tangga. Kalau satu kepala rumah tangga diberi Rp 1 juta/bulan, berarti Rp 40 triliun sebulan. Katakanlah tiga bulan. Hanya Rp 120 triliun.
Uang itu tidak hilang. Nilai itu akan berputar di roda perekonomian nasional.
Ketika program itu dijalankan, program kesehatan harus juga dijalankan. Orang seperti dokter Andani dan Alghozi harus dimanfaatkan. Atau jangan ia dan ia. Siapa pun yang punya kemampuan seperti mereka.
Dalam tiga bulan, mestinya, Covid-19 terkendali.
Kalau tidak, ya harus kita terima: new reality. Penderita akan terus bertambah. Kita bisa menyusul India dan Brazil. Dan memang kelas kita setara dengan dua negara itu. Sama-sama miskin. Sama-sama berpenduduk besar. Sama-sama tidak punya jaminan sosial. Sama-sama kurang disiplin.
Kelas kita, sebenarnya, juga sama dengan Vietnam. Yang bisa hebat.(Dahlan Iskan)