“Setengah private,” kata Robert.
Untuk itu Robert mengenakan tarif Rp 35.000 per orang. Satu jam di online.
Kalau dikalikan 12 hasilnya lebih kecil dibanding mengajar gaya lama: Rp 800.000 sekali hadir.
Tapi angka itu tetap lumayan –daripada menganggur. Apalagi ia masih bisa membuka kelas-kelas online berikutnya. Di jam jam yang berbeda, pun di hari yang lain.
Wahai para guru yoga! Saya salut pada kalian. Kalian adalah golongan yang cepat move on.
Sebenarnya saya ingin menulis kalian semua. Satu persatu. Tapi biarlah Robert mewakili kalian. Kebetulan satu kota dengan saya.
“Anda sempat libur berapa lama? “
“Sepuluh hari, pak. Sejak tanggal 19 Maret,” jawab Robert. “Pertama mengajar di online 29 Maret,” tambahnya.
“Sebelum online berapa murid Anda?”
“Yang di Roca, Graha Famili 60 orang. Yang di Gold Gym, Grand City 25 orang.”
“Sudah berapa tahun jadi guru yoga? Pertama di mana?”
“Sejak tahun 2014. Pertama di Surabaya.”
“Anda lahir di mana?”
“Di Surabaya, pak. Saya arek Suroboyo. Orang tua di Wonorejo, Pasar Kembang.”
“Sejak kapan mengenal yoga? Umur berapa?”
“Sejak tahun 2012. Saat itu umur saya 28 tahun.”
“Siapa guru yoga Anda?”
“Mr. Shanker, pak”.
“Wow, orang bule.”
“India, pak.”
“Kenal di mana?“
“Di gym, pak. Saya dulu giat di gym. Bayar bulanan. Agar tidak rugi saya ikuti semua kelas yang ada. Termasuk kelas yoga.”
“Berapa lama belajar di India?”
“Lho, Mr. Shanker itu di Surabaya pak. Di gym tadi.”
“Bagaimana riwayatnya Anda bisa jadi guru yoga?”
“Teman saya kan guru yoga. Saya jadi asistennya. Waktu ia ke luar negeri saya diminta menggantikannya.”
“Sekarang masih berteman dengan ia?”
“Masih, pak.”
“Jangan-jangan sekarang ia yang jadi asisten Anda….”
“Gantian pak… Saling membantu.”
“Siapa yang sekarang tarifnya lebih mahal?“
“Hahaha sama-sama, pak.”
“Apakah satu jam Rp 700.000 itu sudah yang termahal di Surabaya?”
“Masih ada yang lebih mahal, pak.”
“Sekarang, via online ini, seminggu mengajar berapa kali?”
“Sementara Senin, Rabu, Jumat dulu, pak.”
“Sudah sibuk sekali, ya…”.