Selama bersahabat, seingat Gatot, hanya sekali bertengkar. Tapi seru sekali. Dan lama sekali.
Penyebabnya tidak sepele. Itu terjadi waktu Gatot menulis cerita pendek. Tulisannya disalahkan oleh Asep. Gatot tidak mau terima itu.
Itu soal bunyi kokok ayam jantan.
”Bunyi kokok ayam jantan kok kukuruyuk,” ujar Asep seperti yang ditirukan Gatot.
Waktu itu Gatot lagi mendiskripsikan datangnya fajar pagi. Yang biasa ditandai dengan kokok ayam jantan: kukuruyuuuuuuuk!
”Bunyi kokok ayam itu kongkorongkoooong,” ujar Asep memberikan koreksi.
Pertengkaran pun terjadi.
Tidak pernah terselesaikan.
Lalu Asep berhenti sekolah di kelas 2 SMA itu. Tidak ada lagi biaya setelah sang ayah meninggal dunia. Ia pun pamit kepada kiai pondok Al Khoziny.
”Waktu itu beliau sudah pandai matematika, bahasa Inggris dan bahasa Arab,” ujar Gatot.
Pamit ke mana?
Tidak tahu. Asep tidak punya tujuan pasti hendak ke mana. Ia pun berjalan ke timur. Ke arah Lumajang. Lalu Jember. Banyuwangi. Probolinggo. Akhirnya berhenti di Pasuruan. Ia mengajar matematika di sebuah sekolah di pedesaan Pasuruan.
Perjalanan itulah yang terpatri dalam otak dan hatinya: saat melihat banyaknya pabrik PMA di sepanjang jalan.
Saat meninggalkan pondok dan SMA Sidoarjo itu Asep hanya membawa satu tas. Isinya pun hanya dua stel baju dan dua buku: kamus bahasa Inggris dan Arab.
Di Pasuruan itu Asep ikut ujian persamaan SMA. Lulus. Lalu masuk IKIP Surabaya –jurusan bahasa Inggris.
Dengan bekal ijazah sarjana muda Asep bisa mengajar lebih resmi. Lalu kuliah lagi di jurusan bahasa Inggris di IKIP Malang. Sampai menjadi sarjana.
Ia masih kuliah lagi di UIN Sunan Ampel Surabaya. Untuk jurusan sastra Arab. Sampai sarjana muda.
Saat di Surabaya itu Asep mendirikan pondok pesantren. Yakni di Siwalankerto –sekitar 2 Km dari UIN Surabaya sekarang ini.
Asep tahu untuk mendirikan sekolah diperlukan syarat formal kesarjanaan. Ia pun kuliah S2 di Universitas Islam Malang. Lalu S3 di Universitas Merdeka, juga di Malang. Dan kini Asep menjadi Prof. DR. KH Asep Saifuddin Chalim.