Karena itu pemerintah Singapura sangat jengkel. Tiga hari itu. Ketika melihat terjadinya kepanikan di masyarakat. Sampai semua bahan di supermarket ludes tidak sampai setengah hari. Yakni saat pemerintah menaikkan bendera oranye –tanda bahaya corona sudah lebih serius.
Padahal maksud pemerintah, bendera oranye itu untuk meningkatkan kewaspadaan. Agar bisa menambah kedisiplinan hidup bersih, memperbanyak cuci tangan, dan seterusnya.
Bukan sebagai komando untuk menyerbu supermarket.
Pun kalau kelak pemerintah Indonesia menaikkan bendera oranye. Jangan panik. Jangan serbu supermarket. Jangan ulangi yang terjadi di Singapura.
Mudah-mudahan kita tidak punya bendera oranye.
Ingat: ini lebih mirip flu daripada Jiwasraya.
Yang jelas kita bukan Wuhan. Saya sendiri menyukai Kota Wuhan. Apalagi di ‘simpang tiga’ pertemuan antara sungai Jialing dengan sungai Chang Jiang (Yangtze).
Ketika hubungan diplomatik antara Indonesia dan Tiongkok masih putus saya sudah mendatangkan grup akrobat dari Wuhan. Sampai panitianya diinterogasi oleh Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) di Surabaya.
Tapi kali ini saya ikut marah dengan apa yang terjadi di Wuhan. Seraya ikut bangga pada dokter Li Wenliang. Yang meninggal dunia Jumat lalu.
Kalau saja suara dokter itu didengar tidak akan sampai menjadi fatal seperti ini. Khususnya di Wuhan.
Dokter Li memang tergabung dalam anggota grup WeChat. Anggota grup WeChat itu terbatas para dokter di rumah sakit Palang Merah Wuhan.
Tanggal 30 Desember 2019 lalu dokter Li memposting informasi di grup itu. Tujuannya: agar rekan-rekan sesama dokter menaruh perhatian akan adanya virus yang sangat bahaya itu.
Rupanya ada yang meng-capture postingan dokter Li. Lalu hasil capture itu beredar di online. Menyebar luas. Heboh.
Keesokan harinya kepala rumah sakit memanggilnya. Dokter Li dianggap menjadi sumber keresahan umum.
Dua hari kemudian dokter Li dipanggil polisi. Diinterogasi. Lalu diberi surat peringatan.
Dokter Li sendiri sebenarnya sudah mencabut postingannya itu. Tapi capture-nya sudah beredar luas. Dipanggil polisi adalah menakutkan.
Dokter-dokter lain pun menjadi ragu-ragu untuk bekerja. Apalagi mengambil tindakan. Sebagian marah