Alasan membatasi dan melarang pemajangan rokok bagi pedagang eceran atau kelontong yang termaktub dalam Perda KTR Bogor, pun dirasa kurang rasional. Umumnya, orang terganggu dengan aktivitas merokok, bukan karena bentuk fisik rokoknya.
“Jika alasannya adalah perlindungan terhadap usia muda, banyak barang yang hanya bisa dikonsumsi oleh orang dewasa, biasa saja dipajang. Ada unsur tanggungjawab dan pilihan personal yang harus dikaji sebelum jadi materi peraturan, “papar Willy.
Pembatasan peredaran rokok melalui kawasan tanpa rokok seperti Perda KTR Bogor, dilihat dari kacamata ekonomi dan aspek konsumen merupakan pertimbangan yang dilematis. Karena itu pemahaman mengenai pembatasan itu sendiri harus jelas.
Berdasarkan data Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHTC) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 12/PMK.07/2019, terungkap bahwa Kota Bogor memperoleh pemasukan sebesar Rp 4,57 miliar yang bersumber dari pajak cukai rokok sepanjang tahun lalu.
Menanggapi data tersebut, pengamat ekonomi yang juga Dosen Fakultas Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB) Iqbal Irfani menjelaskan, seharusnya penerapan Perda KTR Bogor juga harus mempertimbangkan kajian ekonomi dan dampaknya. Mengingat pemberlakuan Perda KTR akan memberi dampak pada setiap rantai yang berkaitan dengan rokok sebagai produk, maka perlakuan, definisi dan area pembatasannya berbeda-beda.
“Misalnya, pembatasan dari sisi konsumen, tentu titik beratnya adalah pembatasan usia. Edukasi poin pentingnya. Nah, dari sisi industri, beda lagi pendekatannya seperti pedagang eceran,” ujar Iqbal.
Mematangkan sebuah peraturan, tegas Iqbal, haruslah melalui kajian dan proses panjang. Meskipun Kota Bogor bukan wilayah yang masyarakatnya mengandalkan sektor pertanian tembakau, Perda KTR Bogor harus menitikberatkan pada responsible consumption.
“Jadi distribusi ke konsumen sasarannya yang harus dimaksimalkan. Nah, aspek-aspek edukasi, sosialisasi dan penyadaran yang harusnya dimaksimalkan. Regulasi yang baik itu yang mampu menyelaraskan semua sisi seperti ekonomi dan edukasi,” tutup Iqbal. (rls)