KBU Sudah Kritis

Dinas Pertanian  telah melakukan berbagai upaya, di antaranya dengan mendidik 100 petani millenial agar memiliki pengetahuan bertani yang lebih ramah lingkungan.

“Kebanyakan anak-anak petani atau petani yang baru mulai kami didik. Target sendiri 1.000 petani millenial,“ sebut Hendi.

Koordinasi dengan lembaga vertikal BUMN seperti Perhutani dan PTPN pun tidak dipungkiri menjadi tantangan tersendiri. “Kalau lahan milik warga kita relatif gampang menjangkaunya. Tapi banyak lahan di KBU dikuasai BUMN dan warga luar. Makanya butuh duduk satu meja yang lebih intens lagi,” kata Hendy.

Sementara itu, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Tirtoyuliono mengatakan, saat ini 80 pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan 176 pengambil air tanah.

 

“Dalam pengurusan izinnya, kami persyaratkan berbagai hal. Misalnya untuk pengambil air, kami wajibkan membuat sumur imbuhan. Izin harus diperpanjang per tahun. Untuk pemegang IUP, harus menanam bibit pohon,” kata Bambang.

Saat ini, Dinas ESDM sedang berfokus mengubah imej pertambangan sebagai ‘perusak’ alam tapi juga berpihak pada lingkungan.

Sementara Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Epi Kustiawan mengatakan, lahan kritis hutan di KBU terdapat 3.500 hektare, jumlahnya masih jauh lebih kecil dibandingkan lahan kritis pertanian. “Tapi yang muncul di media adalah hutan gundul,” tukas Epi.

Menurutnya, tantangan terbesar dalam memulihkan KBU adalah jumlah penyuluh kehutanan yang hanya 250 orang berstatus ASN. Sementara relawan penyuluh tercatat 1.500. “Idealnya penyuluh  satu orang satu desa, di Jabar ada 5.312 desa. Jangan dulu per desa, satu orang per kecamatan saja dulu, itu berarti butuh 627 penyuluh,” katanya.

Untuk itu, Dinas Kehutanan sangat mengandalkan kelompok-kelompok pertanian yang eksis di KBU. Seperti pada penanaman 17.150 pohon yang ditanam Senin (9/12) lalu oleh Gubernur Ridwan Kamil, 10.000 pohon dikelola oleh tiga kelompok tani, sementara sisanya diberikan langsung kepada warga.

“Kelompok tani ini harus menularkan ilmunya kepada masyarakat sekitar. Mencari inovator di desa itu susah paling tiga empat orang, tapi merekalah yang kami andalkan. Dari segelintir inovator itu nanti akan muncul early adopter, dari asalnya tiga orang menjadi 15 orang. Dari early adopter nanti berkembang menjadi early majority,” katanya. (mg1/yan)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan