BANDUNG– Ratusan produk ilegal yang nilainya mencapai angka Rp 4,9 miliar berhasil dimusnahkan oleh jajaran Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Bandung pada Senin (2/12) di Kantor BBPOM Bandung, Jalan Dr Djunjunan (Pasteur), Kota Bandung.
Produk yang dimusnahkan terdiri dari produk kosmetik, obat tradisional atau herbal, obat keras hingga produk pangan yang tidak memiliki izin edar hingga mengandung bahan berbahaya. Barang paling banyak dimusnahkan merupakan produk kosmetik.
Kepala BBPOM Bandung, I Gusti Ngurah Bagus Kusuma Dewa mengatakan, produk-produk yang dimusnahkan ini merupakan hasil penindakan yang dilakukan BBPOM selama tahun 2019. Selama setahun, BBPOM Bandung melakukan penyisiran ke pasar hingga tempat produksi produk ilegal.
“Pemusnahan ini dilakukan dengan tujuan untuk memastikan bahwa obat dan makanan tanpa jaminan mutu ini tidak beredar kembali di masyarakat, karena jelas sangat berbahaya,” kata Bagus saat pemusnahan.
Bagus menyebutkan, produk kosmetik sebanyak 1.847 item yang dimusnahkan ini termasuk ilegal. Dia mengatakan produk kosmetik tersebut tidak memiliki izin edar bahkan mengandung bahan berbahaya seperti merkuri dan hidrokinon.
Sementara 129 obat herbal, selain tak memiliki izin edar, obat herbal juga mengandung bahan kimia obat seperti mengandung Sildenafil Sitrat, Deksametason dan bahan kimia obat lainnya.
Selain itu, ada pula obat keras sebanyak 669 item dan produk pangan sebanyak 157 item. Produk pangan tersebut, mengandung bahan berbahaya seperti formalin dan boraks.
“Produk tanpa izin edar tidak dapat dijamin mutu karena yang dilarang akan berdampak pada kesehatan. Dari nilai keekonomian, ini totalnya mendekati Rp 5 miliar,” katanya.
Pemusnahan sendiri dilakukan dengan cara menghancurkan produk-produk tersebut menggunakan mesin insenator. Menurut Bagus, pemusnahan perlu dilakukan agar produk tak lagi dijual ke pasaran. “Tindakan harus dilakukan agar produsen memiliki efek jera,” tuturnya.
Pihaknya menyebut, barang-barang ini didapat dari beberapa daerah yang dominan dan beresiko tinggi persebarannya, yakni kawasan Bogor, Sukabumi, Bekasi serta Kota Bandung. Hal itu terjadi karena resikonya potensi peredaran obat dan makanan tidak memenuhi syarat ini mengiringi dari permintaan masyarakat.