Dia mengatakan UU Pilkada merujuk hasil Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa anggota DPR kalau maju dalam kontestasi Pilkada harus mundur dari jabatannya, dan tidak boleh cuti. “Memang ada keinginan beberapa pihak agar terjadi revisi UU Pilkada. Khususnya terkait aturan anggota DPR maju dalam Pilkada. Kalau materinya berat-berat dan membutuhkan waktu yang panjang. Ini masalah waktu yang tidak akan cukup. Kalau dilakukan, malah akan mengganggu tahapan Pilkada 2020,” jelas Doli.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDIP, Arif Wibowo. Dia mengatakan aturan terkait anggota DPR harus mundur apabila maju dalam Pilkada. Hal ini tidak bisa diubah karena sudah diatur dalam putusan MK lalu diadopsi dalam UU Pilkada.
Tahapan Pilkada 2020 sudah berjalan dan payung hukumnya. Yakni UU Pilkada. Sehingga kalau revisi dilakukan, bisa memunculkan banyak spekulasi politik. “Kalau ada usulan itu, ya harus ubah UU. Sikap Fraksi PDIP, tidak perlu ada perubahan UU. Karena tahapan Pilkada 2020 sudah berjalan,” papar Arif.
Terpisah, analis politik dari Universitas Diponegoro, Teguh Yuwono menyebut daerah yang berpotensi konflik berisiko tinggi sebaiknya jangan menyelenggarakan Pilkada langsung. Menurutnya, banyak faktor kenapa Pilkada harus melalui DPRD. Namun, faktor yang paling utama adalah high cost politics (politik biaya tinggi) dan high risk conflict (konflik berisiko tinggi) dan berkepanjangan. “Apalagi, potensi konflik sudah ada. Konflik pilkada ini ibarat membakar rumput kering, mudah terbakar,” jelas Teguh.
Dengan begitu, ada daerah yang menyelenggarakan Pilkada langsung oleh rakyat. Namun, ada pula yang tidak langsung atau melalui lembaga legislatif, atau menyesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. “Istilahnya pilkada asimetris,” imbuh Teguh.
Sebelumnya, wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD menjelang pelaksanaan pilkada 2020 di 270 daerah yang terdiri atas sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Sementara itu, di Jawa Tengah tercatat 21 daerah yang akan menggelar Pilkada Serentak 2020, yakni Kota Semarang (Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah), Kota Surakarta, Kota Magelang, dan Kota Pekalongan.
Berikutnya, Kabupaten Pekalongan, Pemalang, Kabupaten Semarang, Rembang, Purbalingga, Boyolali, Blora, Kendal, Sukoharjo, Wonosobo, Wonogiri, Purworejo, Sragen, Klaten, Demak, dan Kabupaten Grobogan. “Kalau potensi konflik besar, money politics (politik uang) besar, atau suap besar, sebaiknuya jangan pilkada langsung,” tukasnya.