BANDUNG – Tanpa disadari, banyak kesalahan dalam pola pengajaran yang dilakukan guru dalam mendidik anak. Padahal, itu akan berpengaruh buruk pada psikologis siswa dalam sekolah. Dalam arti tidak bagja (tidak bahagia).
Ifa pun mengajak para guru untuk mencoba membacakan teks pada proyektor. ”Kenapa kamu telat?” ucap salah seorang peserta dengan nada sinis. Guru yang lain juga mencoba dengan ungkapan membandingkan: ”Si A bisa, kok kamu gak bisa?”
Kata-kata tersebut sebenarnya sering kita dengar di sekolah. Dan siapa pun yang dihardik dengan pertanyaan itu, pasti kesal pada si guru.
Nah, untuk merangsang siswa berkarakter baik, Ifa pun mendorong peserta untuk tidak lagi menggunakan kata-kata kenapa atau why. Sebab, kata-kata tersebut kerap menyudutkan siswa.
”Alangkah lebih baik diganti. Misalnya, bisa ceritain ke ibu, apa yang bikin kamu terlambat ke sekolah?” kata Ifa.
Ifa mengungkapkan, pertanyaan-pertanyaan tersebut terkesan sepele dan taktis langsung pada inti masalah. Namun, dari sisi kejiwaan, remaja menjadi tertekan dan bisa memantik mereka untuk memberontak.
Kenyataannya, banyak guru yang berharap anak didik mereka berkarakter baik. Namun, untuk menopang harapan tersebut, pada praktiknya pengetahuan guru belum menunjang.
”Saya tersadar, untuk menuju ke arah sana (pendidikan karakter, Red), tidak hanya siswa, tapi gurunya juga harus bagja, bahagia. Di sekolah, guru terbentur dengan aturan yang kadang kala menyeragamkan dalam memperlakukan siswa,” papar Guru Bimbingan Konseling (BK) SMAN 20, Euis Sopiah.
Menurut dia, siswa itu merupakan sesuatu yang unik yang harus diperlakukan berbeda. Sehingga anak tersebut bisa berkembang dari sisi potensi. Harapannya, menjadi SDM yang handal di kemudian hari.
”Saya akan coba terapkan materi yang saya peroleh di Jabar Masagi dengan menerapkan pola perlakuan anak sesuai pada keberagamannya,” tegas Euis.