SECARA etimologi korupsi dalam sejarahnya berasal dari bahasa latin yaitu corrupti atau coruptus. Dalam The Lexion Webster Dictionary, corrupti atau coruptus diartikan sebagai kebusukan, kebejatan, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang menghina atau memfitnah.
Berbicara korupsi di Indonesia, meminjam istilah yang di ungkapkan oleh Moh. Hatta menyebutkan bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia (Sri Magana, 2009). Istilah membudaya ini menunjukan bahwa ada indikasi “permisif” terhadap perilaku koruptif. Selain itu korupsi di Indonesia telah memasuki seluruh dimensi kehidupan sosial, politik, hukum pendidikan dan bahkan dimensi agama sekaligus.
Membudayanya korupsi di Indonesia salah satunya dapat dilihat dari terus mengakar dan mengguritanya kasus-kasus yang ditangani oleh penegak hukum. Realitas kasus-kasus korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun tidak ada penurunan, bahkan dalam berbagai data menunjukan kasus korupsi di Indonesia cenderung terus bertambah. Data Indonesian Corruption Watch (ICW) mengkonfirmasi ada 576 kasus korupsi yang ditangani oleh penegak hukum pada tahun 2017 dengan 1.298 tersangka dengan total kerugian negara 6,5 Triliun dan nilai suap 211 Miliar.
Begitupun dengan tren korupsi di Indonesia nampaknya belum ada perbedaan yang signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. Data yang dirilis oleh Transparansi Internasional menunjukan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berada di urutan 89 dari 180 negara dengan skor 38, itu artinya skor IPK Indonesia hanya naik 1 angka dari tahun 2016 dan 2017.
Tentu ini menjadi paradoks, dengan adanya tiga lembaga yang mempunyai kewenangan dalam penindakan kasus korupsi (Polri, Kejaksaan dan KPK), seharusnya kasus korupsi bisa ditekan dan diminimalisir, tetapi faktanya kasus korupsi masih saja menggurita dan menjadi ancaman utama di Indonesia.
Revitalisasi Kewenangan Polri
Ada beberapa alasan mengapa revitalisasi kewenangan Polri dalam pemberantasan korupsi sangat penting. Saya menilai bahwa memaksimalkan kewenangan Polri dalam upaya pemberantasan kasus korupsi merupakan langkah yang dipandang tepat.
Pertama: Korupsi sebagai kejahatan luar biara (extraordinary crime) maka dibutuhkan penanganan yang luar biasa dengan cara-cara yang luar biasa (extraordinary action). Penanganan kasus korupsi tidak seharusnya dibebankan kepada salah satu penegak hukum, melainkan dibutuhkan sinergi dan kerjasama antarbeberapa penegak hukum, agar penanganan kasus korupsi dapat dilakukan secara holistik dan terukur.